Mbok Narti, Begitu kami sekeluarga memanggilnya. Usia-nya
sudah 60 tahun namun kegagahan dan kegesitannya justru membuat sosoknya
terlihat 10 tahun lebih muda. Mbok Narti baru bekerja beberapa minggu di tempat
kami. Seorang tetangga membawanya ke rumah ibu ketika mengetahui bahwa kami membutuhkan
asisten di rumah kami. Ayah yang sudah sakit dalam 8 bulan terakhir tentu
menyita waktu ibu untuk mengurusnya. Alhasil pekerjaan rumah tangga sedikit
'keteteran' karena kami bekerja seharian di luar rumah.
Alhamdulillah, kami dapat bernafas lega ketika mendapatkan
bantuan mbok Narti ini. Setiap ba'da shubuh dia sudah rajin bekerja dari mencuci,
memasak dan menyetrika. Mbok Narti tidak pernah mengijinkan ibu untuk
membantunya, alih-alih mbok Narti menyarankan ibu untuk konsentrasi menyiapkan
dan mengurus keperluan ayah yang sedang sakit.
Mbok Narti hidup sebatang-kara di dunia ini, begitu
informasi yang kami dapatkan lewat tentangga. Dia tidak pernah menceritakan
asal-usul dirinya dengan jelas. Mbok Narti, sosok baru di rumah kami ini langsung
menjadi idola. Senyumnya tidak pernah lepas dari bibirnya. Pekerjaan dia
selesaikan dengan giat dan gesit. Setiap malamnya tidak pernah dilewatkan mbok
Narti dengan bersimpuh di hadapan Sang Khaliq. Selalu khusyuk dalam sujud dan
do'a-nya.
Dan suatu hari, setelah hampir tiga minggu mbok Narti
bekerja di rumah kami. Tiba-tiba kami kedatangan seorang tamu. Seorang dokter dari
Jakarta. Awalnya kami agak terkejut dengan maksud dan tujuan dokter tersebut
untuk menjemput mbok Narti. Astaghfirullah, kami sempat bersu'udzon tentang
sesuatu hal yang buruk yang pernah terjadi kepada si mbok ketika bekerja di
Jakarta dahulu. Namun, dokter yang ternyata bekas majikan si mbok tersebut
justru memohon maaf kepada kami untuk menjemput mbok Narti karena si mbok
dirindukan oleh anaknya. Rupanya putera si dokter meminta ayahnya untuk datang
ke rumah kami menjemput mbok Narti. Ah, rupanya ada yang merindukan simbok di
sana.
Si dokter itupun bercerita bahwa anak bungsu-nya tidak mau
makan sejak mbok Narti pulang ke kampungnya. Persis seperti di
sinetron-sinetron memang, namun itulah fakta yang terjadi. Entah apa yang membuat
mbok Narti berhenti bekerja dari rumah si dokter tersebut sebelumnya. Namun
dari kehidupan, tindak-tanduk mbok Narti yang baru beberapa minggu di rumah
kami, mbok Narti adalah sosok yang sangat baik dan mendekati sempurna sebagai
asisten keluarga kami.
Akhirnya kami pun harus melepas mbok Narti dengan berat
hati. Walau baru beberapa minggu bekerja di rumah kami, namun kesan yang ditinggalkan
begitu mendalam. Terus terang, kami tidak pernah mendapatkan asisten rumah
tangga seperti sosok mbok Narti ini.
Satu minggu berlalu sejak kepergian mbok Narti dan tetanga
kami yang pernah mengantarkan si mbok datang untuk mengambil uang gaji mbok Narti
yang belum sempat kami bayarkan. Memang ketika mbok Narti dijemput dahulu, dia
berpesan agar gajinya dititipkan saja ke tetangga kami itu.
Satu hal yang sangat mengejutkan kami adalah ketika si
tetangga bercerita bahwa uang gajinya mbok Narti akan diberikan kepada Yayasan yatim
piatu di kampung mbok Narti. Rupanya selama ini dia menyerahkan seluruh
penghasilannya sebagai asisten kepada si tetangga untuk diberikan kepada
Yayasan tersebut setiap bulannya. Bagi si mbok, dengan bekerja di suatu tempat,
mendapat jaminan tempat berteduh, mendapat makan, itu sudah lebih dari cukup
buat dia. Sedang penghasilannya (gajinya) dia anggap sebagai rejeki anak-anak
yatim itu.
Subhanallaah... dalam asma Allah dan hati yang bergetar
penuh haru, ternyata baru kami sadari bahwa kami ini bukan apa-apa dibandingkan
dengan mbok Narti. Setiap saat kami hanya memikirkan diri kami sendiri. Setiap
saat kami hanya memikirkan makan apa besok, membeli baju dan kosmetika, rencana
liburan dan hal lain yang tak bukan hanya untuk keperluan diri kami sendiri. Di
sisi lain mbok Narti yang 'cuma' sebagai asisten rumah tangga yang mungkin
gajinya tidak seberapa untuk ukuran orang yang mampu, justru dia sumbangkan semuanya
-semuanya!- kepada orang-orang yang tidak mampu.
Ah, lewat mbok Narti kami seakan di'sentil' Allah agar
cepat-cepat membuka mata dan hati kami yang selama ini tertutup, bahwa hidup
ini bukan hanya untuk hari ini dan esok. Bahwa hidup ini bukan hanya untuk
sekedar mencari makan dan belanja pakaian. Namun, hidup ini justru menjadi
lebih berarti ketika kita dapat membagi kebahagiaan
kita kepada
orang lain.
Mbok Narti,
Sungguh teladanmu merontokkan
tulang-tulang kesombongan kami...
Sungguh kerendah-hatimu
meruntuhkan keangkuhan kami...
Sungguh kedalaman
sujud-sujud malammu, menggetarkan sukma kami...
Sungguh
kedermawananmu membuat kami malu di hadapan Tuhan kami,
Astaghfirullaah.
Sungguh, kami
merindukanmu mbok.
Sumber: Rosanti K
Adnan - Eramuslim