Monday 27 May 2013

PUISI "PRAHARA BATU METEOR""


Saat sumua kembali pada tempatnya
Bulan kembali pada orbitnya
Air-air kembali ke muara
Itik, angsa kembali rindu akan induknya
Kaleng-kaleng kosong dibuang ke sampah
 
Ada apa dengan dunia ini
Gelap terasa di siang hari
Sepi di tengah ramainya pasar
 
Aku telah kembali
Pada hari-hari aku dilahirkan
Aku terus menangis
Bahagia
Kecewa
 
Dunia ini telah melahirkanku
Dari sebongkah batu meteor
Aku begitu asing
Orang-orang pun mengagumiku
Hanya sebatas aku benda meteor
 
Tuhan telah memberikanku sebongkah hati
Tapi aku tak tahu untuk apa benda ini
Warnanya kadang putih kadang menjadi hitam
Ingin aku buang tapi aku meyukainya
Tapi aku juga resah
Benda ini tak bias membuatku tidur
 
Banyumanik, 06.36 / Ahad, 26 Mei  2013

Wednesday 22 May 2013

Cermin Diri


Setiap aku berjalan, berjumpa dengan orang-orang, mereka selalu melemparkan senyum padaku. Kenapa? padahal aku belum memberikan senyuman. Aneh. Sehingga membuatku selalu bertanya dalam hati, apakah ada yang lucu dalam dirku? hidupku mungkin yang lucu karena hanya bergaris hitam dan putih, atau fisikku? hitam kelam, kecil dekil, wagu tur saru?
hm . . . .m.
Tak taulah! hanya kesendirianku yang selalu setia menemani. Dialah teman sekaligus saudara dikala aku sering bertanya dalam hati. Apakah kita selalu bersama?

GADIS FATAMORGANA

Disaat aku mencari
Kau muncul di tengah sahara
Gubangan air jernih menggiurkanku
Terasa aku telah menenggaknya
Kau begitu halus
Meluluhkan penatku
Hadirmu hilangkan dahaga
Terus ku berjalan menggapaimu
Kau tampak jelas dihadapanku
Lari aku berlari
Tapi . . .
Kau tiba-tiba hilang
Tampakmu telah pudar
Mungkinkah kau menggodaku
Atau . . . menelantarkanku?

Semarang, (20.44 WIB); 22-05-2013

Tuesday 14 May 2013

Kata Mutiara Cinta "Pak Gi"

kenapa kita menutup mata ketika kita tidur?
ketika kita menangis?
ketika kita membayangkan?
itu karena hal terindah di dunia tdk terlihat

ketika kita menemukan seseorang yang
keunikannya sejalan dengan kita, kita bergabung
dengannya dan jatuh ke dalam suatu keanehan
serupa yang dinamakan cinta.

Ada hal2 yang tidak ingin kita lepaskan,
seseorang yang tidak ingin kita tinggalkan,
tapi melepaskan bukan akhir dari dunia,
melainkan suatu awal kehidupan baru,
kebahagiaan ada untuk mereka yang tersakiti,
mereka yang telah dan tengah mencari dan
mereka yang telah mencoba.
karena merekalah yang bisa menghargai betapa
pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan
mereka.

Cinta yang sebenarnya adalah ketika kamu
menitikan air mata dan masih peduli terhadapnya,
adalah ketika dia tidak memperdulikanmu dan
kamu masih menunggunya dengan setia.

Adalah ketika di mulai mencintai orang lain dan
kamu masih bisa tersenyum dan berkata
” aku turut berbahagia untukmu ”

Apabila cinta tidak bertemu bebaskan dirimu,
biarkan hatimu kembalike alam bebas lagi.
kau mungkin menyadari, bahwa kamu menemukan
cinta dan kehilangannya, tapi ketika cinta itu mati
kamu tidak perlu mati bersama cinta itu.

Orang yang bahagia bukanlah mereka yang selalu
mendapatkan keinginannya, melainkan mereka
yang tetap bangkit ketika mereka jatuh, entah
bagaimana dalam perjalanan kehidupan.
kamu belajar lebih banyak tentang dirimu sendiri
dan menyadari bahwa penyesalan tidak
seharusnya ada, cintamu akan tetap di hatinya
sebagai penghargaan abadi atas pilihan2 hidup
yang telah kau buat.

Teman sejati, mengerti ketika kamu berkata ” aku
lupa ….”
menunggu selamanya ketika kamu berkata ”
tunggu sebentar ”
tetap tinggal ketika kamu berkata ” tinggalkan aku
sendiri ”
mebuka pintu meski kamu belum mengetuk dan
belum berkata ” bolehkah saya masuk ? ”
mencintai juga bukanlah bagaimana kamu
melupakan dia bila ia berbuat kesalahan,
melainkan bagaimana kamu memaafkan.

Bukanlah bagaimana kamu mendengarkan,
melainkan bagaimana kamu mengerti.
bukanlah apa yang kamu lihat, melainkan apa
yang kamu rasa,
bukanlah bagaimana kamu melepaskan melainkan
bagaimana kamu bertahan.

Mungkin akan tiba saatnya di mana kamu harus
berhenti mencintai seseorang, bukan karena orang
itu berhenti mencintai kita melainkan karena kita
menyadari bahwa orang iu akan lebih berbahagia
apabila kita melepaskannya.

kadangkala, orang yang paling mencintaimu adalah
orang yang tak pernah menyatakan cinta
kepadamu, karena takut kau berpaling dan
memberi jarak, dan bila suatu saat pergi, kau akan
menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau
sadari

MENCARI MAKNA DALAM PUISI


Pembahasan unsur-unsur atau strata puisi di bab III , bisa disimpukan bahwa bahasa sebagai strata norma puisi memiliki dua (2) unsur utama yakni; a) struktur fisik/metode puisi, dan b) struktur batin/hakikat puisi.

Struktur fisik bahasa puisi yang juga biasa  disebut dengan  metode puisi, berhubungan dengan sintaksis. Oleh karena itu dalam bahasa puisi, selain akan terjadi penyimpangan-penyimpangan bahasa dalam struktur sintaksis puisi, juga sekaligus memunculkan bahasa yang khas dalam puisi.

Bahasa yang khas dalam puisi ini,  tentunya menjadikan pembaca puisi sulit untuk memaknainya. Maka, sebelum Pembahasan lebih jauh tentang struktur fisik bahasa puisi, akan diuraikan terlebih dahulu apa yang disebut dengan kode-kode bahasa yang dapat membantu mencari makna dalam bahasa puisi yang khas tersebut. Secara rinci uraian pembahasan tentang (a) penyimpangan bahasa puisi,  (b) struktur sintaksis puisi, dan (c) kode bahasa puisi, sebagai berikut.

A.    PENYIMPANGAN BAHASA PUISI
Penyimpangan bahasa dalam puisi sering menjadi ciri dari suatu angkatan atau periode sastra. Penyimpangan bahasa itu disebabkan bahasa puisi khususuya dan bahasa sastra umumnya bersifat tidak stabil. Setiap angkat­an dalam sastra mengubah konvensi sastra sambil memakai dan menen­tangnya (Teeuw, 1983:4).
Geoffrey Leech menyebutkan adanya 9 jenis pe­nyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi. Tidak setiap puisi memiliki 9 aspek penyimpangan itu, tetapi hanya memiliki salah satu atau beberapa aspek penyimpangan yang dominan pada jaman tertentu (Leech: 1976, 42-52).
1.      Penyimpanga Leksikal
Kata-kata yang digunakan dalam puisi me­nyimpang dari kata-kata yang kita pergunakan dalam hidup sehari-hari. Pe­nyair memilih kata-kata yang sesuai dengan pengucapan jiwanya atau kata­-kata itu disesuaikan dengan tuntutan estetis. Misalnya: mentari, pepintu, keder, ngloyor, leluka, barwah, dan sebagainya.
2.      Penyimpangan Semantis
Makna dalam puisi tidak menunjuk pada satu makna, namun menunjuk pada makna ganda, Makna kata-kata tidak selalu sama dengan makna dalam bahasa sehari-hari. Juga tidak ada kesatu­an makna konotatif dari penyair satu dengan penyair lainnya. Kata "sungai" bagi penyair yang berasal dari daerah banjir akan dikonotasikan dengan bencana, sementara para penangkap ikan dan penambang akan menyebut­nya sebagai sumber penghidupan. Kata "bulan" dalam puisi Sitor berbeda dengan kata "bulan" dalam puisi Toto Sudarto Bachtiar.
3.      Penyimpangan Fonologis
Untuk kepentingan rima, penyair sering mengadakan penyimpangan bunyi. Dalam puisi Chairil Anwar "Aku", kata “perih" diganti dengan “peri". Dalam puisi lamanya, kata "menggigil" di­ganti "menggigir"; kata "melayang" diganti dengan “melayah”, dan seba­gainya.
4.      Penyimpangan Morfologis
Penyair sering melanggar kaidah morfolo­gis secara sengaja. Dalam puisi-puisi Rendra kita temui istilah: mungkret, mangkal, ngangkang, nangis, gerayangi, dan sebagainya, sebagai contoh penyimpangan morfologis.
5.      Penyimpangan Sintaksis
Di depan sudah dijelaskan bahwa kata-kata dalam puisi bukan membangun kalimat, namun membangun larik-larik. Da­pat kita lihat, bahwa penyair sering alpa menggunakan huruf besar untuk permulaan kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri kalimat itu. Sering pula sulit kita mencari kesatuan manakah yang dapat kita sebut satu kali­mat dalam puisi. Baris-baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang dikemukakan mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat terse­but.
6.      Penggunaan Dialek
Penyair ingin mengungkapkan isi hatinya secara tuntas. Pengucapan isi hati dengan bahasa Indonesia dirasa belum mewakili ketuntasan itu. Sebab itu, penyair menggunakan kata-kata menyimpang dari bahasa Indonesia yang bersih dari dialek. Para penyair mutakhir. ba­nyak menggunakan dialek. Misalnya, Darmanto Jt. menggunakan istilah: aduh laelae, tobil, nyemar, madep, manteb, gemati, nastiti, dan sebagainya. Linus Suryadi Ag. menggunakan dialek Jawa: banget, kepradah, andhap asor, biyung, wok kethekur, dan sebagainya.
7.      Penggunaan Register
Register adalah ragam bahasa yang digunakan kelompok atau profesi tertentu dalam masyarakat. Register juga disebut dialek profesi. Seringkali dialek profesi ini tidak diketahui secara luas oleh pembaca, apalagi jika register itu diambil dari bahasa daerah. Misalnya di kalangan bangsawan Jawa, anak yang dihasilkan dari hubungan gelap dise­but lembu peteng. Ada juga istilah kumpul kebo, procotan, Paman doblang, simbok, den mas, ekaristi, sungkem, bihten, dan sebagainya. Semua itu me­rupakan contoh register.

8.      Penyimpangan Historis
Penyimpangan historis berupa penggunaan kata-kata kuno yang sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari­-hari. Penggunaannya dimaksudkan untuk mempertinggi nilai estetis. Misal­nya, kata-kata jenawi, bilur, lebuh, bonda, dewangga, ripuk, lilih, bahana, dan sebagainya. Penggunaan kata-kata yang "dakik-dakik" seperti dalam la­rik-larik lagu Guruh Sukarno, dalam puisi malahan akan mengurangi nilai estetis puisi tersebut.
9.      Penyimpangan Grafologis
Dalam menulis kata-kata, kalimat, larik dan baris, penyair sengaja melakukan penyimpangan dari kaidah bahasa yang biasa berlaku. Huruf besar dan tanda-tanda baca tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Hal itu digunakan penyair untuk memperoleh efek estetik. Penyimpangan sistem tulisan tersebut disebut penyimpangan grafo­logis.

B.     STRUKTUR SINTAKSIS PUISI
Meskipun kaidah sintaksis sering diabaikan dalam puisi, namun untuk menafsirkan makna puisi kita hendaknya menafsirkan larik-larik puisi itu sebagai suatu kesatuan sintaksis. Penafsiran makna itu mungkin hanya da­lam konsep pikiran saja karena kita terbiasa menghadapi wacana yang di­bangun dalam kesatuan sintaksis. Pola sintaksis puisi juga mempunyai fung­si semantik seperti dalam bahasa sehari-hari.
Pola sintaksis puisi dapat runtut seperti dalam prosa, namun sering kali penyair membuat pola yang aneh, dibuat lain daripada yang lain untuk menunjukkan kreativitas dan identitasnya. Penyair dapat mengabaikan kaidah sintaksis yang harus dipatuhi, namun dapat juga mengulang-ulang pola-pola tertentu sehingga beraturan. Yang pertama disebut infrastrukturisasi se­dangkan yang kedua disebut suprastrukturisasi.

Puisi Ajip Rosidi yang berjudul "Jante Arkidam" banyak menggunakan kalimat inversi dan pola kalimat/frasa yang diulang-ulang, seperti dalam ku­tipan ini:
Tajam tangan lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lelangdia terbang.
(inversi)
Arkidam, Jante Arkidam
...........................
Arkidam, Jante Arkidam.
(pengulangan frasa berkali-kali)
Karena pembicaraan tentang sintaksis sulit dilaksanakan dengan saksa­ma, maka kesatuan sintaksis dapat dibicarakan juga dalam larik dan bait.. Sebuah larik mewakili kesatuan gagasan penyair dan jika dibangun bersama-­sama larik-larik lain membangun kesatuan gagasan yang lebih. besar. Bait­-bait puisi pada hakekatnya mirip dengan sebuah paragraf prosa. Di dalam bait itu terdapat satu larik yang merupakan kunci gagasan. Pada seluruh puisi itu terdapat satu atau beberapa bait yang merupakan klimaks gagasan penyair. Bait yang merupakan klimaks itulah yang dapat menjadi kunci tema dan amanat yang hendak disampaikan oleh penyair. Namun karena kebebasan penyair, belum tentu gagasan pokoknya terdapat dalam suatu bait tertentu.
Demikian uraian tentang bentuk sintaksis dari puisi yang dapat dihubungkan dengan larik dan bait puisi.  Contoh :
itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah

mendampar tanya: aku salah?

kulihat tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang dimata masa
bertukar rupa ini segera

mengatup luka

aku bersuka

itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
                                                       (1943).
           Kata-kata dalam puisi tidak tunduk pada aturan logis pada kalimat namun tunduk pada ritma larik pada puisi. Hal ini disebabkan karena kesatuan kata-kata itu bukanlah kalimat akan tetapi larik-larik puisi itu.
           Dalam baris-baris puisi "Isa" karya Chai­ril Anwar ini, sepatah kata seperti /rubuh/ dan /patah/ memben­tuk kesatuan makna secara mandiri.
Baris-baris puisi yang hanya terdiri atas satu kata /rubuh/ dan /patah/ menunjukkan suatu kesatuan makna yang bulat. Baris-baris tersebut tidak membentuk kesatuan sintaksis dengan baris lainnya, namun mampu mem­bentuk kesatuan sintaksis tersendiri yang luasnya dapat melebihi satu kali­mat.
Ada dua baris yang terdiri atas satu kata, yakni: /rubuh/ dan /patah/. Ada tiga bait yang hanya terdiri atas masing-masing satu baris, yakni: /men­dampar tanya: aku salah?/, /mengatup luka/, dan /aku bersuka/. Kesatuan makna dari larik tersebut mewakili satu bait puisi.
Karena adanya kemungkinan satu kata atau frasa mewakili satu kesatu­an makna yang bulat, maka suatu struktur puisi menciptakan suatu enyam­bemen, suatu saat istirahat pada akhir baris atau bait, yang tidak kita dapati pada struktur kalimat. Karena enyambemen ini, maka pembacaan puisi akan disertai perhentian yang cukup pada tiap akhir baris; dan perhatian itu lebih lama pada setiap akhir bait. Hal ini dilakukan untuk menegaskan kesatuan makna dalam baris/bait itu.

Simpulan : Setiap larik dalam puisi akan membentuk satu kesatuan makna yang bulat. Karena adanya kemungkinan satu kata atau frasa mewakili kesatuan makna yang bulat maka struktur puisi menciptakan suatu enyambemen yaitu peristirahatan pada akhir baris dan bait. Artinya pada pembacaan puisi, akan disertai pemberhentian pada setiap akhir baris, dan lebih lama pada setiap akhir bait. Hal ini dilakukan untuk menegaskan makna dalam setiap baris dan bait.

C.    KODE BAHASA
             Dalam puisi kata-kata frasa dan kalimat mengandung makna tambahan atau makna konotatif. Sebuah kata memungkinkan memiliki makna ganda. Kata yang nampaknya tidak bermakna diberi makna baru, bahkan diberi nilai rasa baru. Memang tidak semua kata, frasa, kalimat bermakna tambahan, pun begitu, puisi tidak mungkin tanpa makna tambahan sehingga kehilangan kodrat bahasa puisi.
              Bahasa puisi adalah bahasa figuratif yang bersusun-susun. Artinya, bahasa figuratif yang digunakan menyebabkan makna dalam baris-baris puisi tersembunyi dan harus ditafsirkan. Sehingga proses mencari makna dalam puisi merupakan proses pergulatan yang terus menerus. Bahasa figuratif, pengimajian, kata konkret, dan diksi khas dari penyair menyebabkan pembaca puisi harus mencari makna yang hendak disampai­kan penyair dengan cara lebih sulit daripada makna di dalam bahasa prosa. Pengetahuan tentang latar belakang penyair akan mempermudah mengung­kapkan makna yang bersifat khas itu.

Rolland Barthes menyebutkan adanya 5 kode bahasa yang dapat membantu pembaca memahami makna karya sastra. Kode-kode itu melatar belakangi makna karya sastra. Meskipun pan­dangannya itu diterapkan untuk prosa, namun prinsip-prinsipnya dapat di­gunakan untuk puisi juga. Lima kode itu, ialah :
1. Kode hermeneutik (penafsiran). Dalam puisi, makna yang hendak di­sampaikan tersembunyi, menimbulkan tanda tanya bagi pembaca. Tanda tanya itu menyebabkan daya tarik karena pembaca penasaran ingin menge­tahui jawabannya. Misalnya, dalam puisi "Senja di Pelabuhan Kecil", pem­baca akan bertanya apa maksud penyair dengan judul itu? Apa makna senja dan apa makna pelabuhan. Lagi pula pelabuhan itu kecil, apakah makna­nya. Dengan latar belakang pengetahuan yang cukup tentang bahasa sastra, pembaca akan mampu menafsirkan makna puisi itu. Begitu ptila menghada­pi baris di bawah judul "Buat Sri Ayati". Siapakah Sri Ayati? Apa hubung­annya dengan pelabuhan kecil? Apa hubungannya dengan senja? Apa hu­bungannya dengan penyair?
2. Kode proairetik (perbuatan). Dalam karya sastra perbuatan atau ge­rak atau alur pikiran penyair merupakan rentetan yang membentuk garis li­near. Pembaca dapat menelusuri gerak batin dan pikiran penyair melalui perkembangan pemikiran yang linear itu. Baris demi baris membentuk bait. Bait pertama dan kedua serta seterusnya merupakan gerak berkesinambung­an. Gagasan yang tersusun merupakan gagasan runtut. Jika dipelajari.de­ngan saksama, maka kita akan menemukan kesamaan gerak batin penyair yang sama dalam berbagai puisinya. Ciri khas itu akan nampak karena se­orang penyair mempunyai metode yang hampir sama dalam proses pencip­taan puisi. Sulit kiranya seorang penyair mengubah teknik pengucapan puisi yang sudah dimilikinya.
3. Kode semantik (sememe). Makna yang kita tafsirkan dalam puisi ada­lah makna konotatif. Bahasa kias banyak kita jumpai. Sebab itu, menafsir­kan puisi berbeda dengan menafsirkan prosa. Menghadapi bentuk puisi, pembaca sudah harus bersiap-siap untuk memahami bahasanya yang khas.
4. Kode Simbolik. Kode semantik berhubungan dengan kode simbolik; hanya kode semantik lebih luas. Kode simbolik lebih mengarah pada kode bahasa sastra yang mengungkapkan/melambangkan suatu hal dengan hal lain. Makna lambang banyak kita jumpai dalam puisi. Peristiwa-peristiwa yang dilukiskan dalam puisi belum tentu bermaksud hanya untuk bercerita, namun mungkin merupakan lambang suatu kejadian. Bahkan mungkin me­rupakan lambang kejadian yang akan datang. Misalnya, nyanyian "Semut Ireng" (semut hitam) yang terkenal dalam sastra Jawa merupakan lambang kejatuhan kerajaan Surakarta. Nyanyian "Jaman Edan" dalam Kalatida kar­ya Ranggawarsita merupakan lambang kebobrokan jaman. Secara khusus, kata-kata dan lukisan peristiwa juga penuh dengan lambang-lambang seperti yang sudah dipaparkan tersebut.
5. Kode budaya. Pemahaman suatu bahasa akan lengkap jika kita memahami kode budaya dari bahasa itu. Banyak kata-kata dan ungkapan yang sulit dipahami secara tepat dan langsung jika kita tidak memahami latar be­lakang kebudayaan dari bahasa itu. Memahami bahasa diperlukan "cultural understanding" dari pembaca. Misalnya "Dik Narti" dalam puisi Rendra, su­lit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris karena dalam sistem budaya ba­hasa Inggris panggilan serupa itu tidak ada. Demikian pula kata "Jeng" da­lam bahasa Jawa, Kata Durno, Sengkuni, Kresno, Semar, mBilung, dan seba­gainya mewakili suatu konsep makna yang hanya bisa ditelusuri melalui kode budaya Jawa. Durno misalnya mewakili watak manusia yang seperti tokoh wayang Durno yang licik, penghasut, dan berhati jahat (dalam puisi demonstrasi). Kresno mewakili tokoh bijaksana dan berotak brilyant. Seng­kuni mewakili tokoh jahat, plin-plan, penghasut, berwatak lemah, dan sera­kah. Kata "midodareni" dapat dipahami melalui pemahaman tata cara per­kawinan Jawa, dan sebagainya.