Pembahasan unsur-unsur atau strata puisi di bab III , bisa disimpukan bahwa bahasa sebagai strata norma puisi memiliki dua (2) unsur utama yakni; a) struktur fisik/metode puisi, dan b) struktur batin/hakikat puisi.
Struktur fisik bahasa puisi yang juga biasa disebut dengan metode puisi, berhubungan dengan sintaksis.
Oleh karena itu dalam bahasa puisi, selain akan terjadi penyimpangan-penyimpangan bahasa dalam struktur sintaksis puisi,
juga sekaligus memunculkan bahasa yang khas dalam puisi.
Bahasa yang khas dalam puisi ini, tentunya menjadikan pembaca puisi sulit untuk
memaknainya. Maka, sebelum Pembahasan lebih jauh tentang struktur fisik bahasa
puisi, akan diuraikan terlebih dahulu apa yang disebut dengan kode-kode bahasa
yang dapat membantu mencari makna dalam bahasa puisi yang khas tersebut. Secara
rinci uraian pembahasan tentang (a) penyimpangan bahasa puisi, (b) struktur sintaksis puisi, dan (c) kode
bahasa puisi, sebagai berikut.
A. PENYIMPANGAN
BAHASA PUISI
Penyimpangan bahasa
dalam puisi sering menjadi ciri dari suatu angkatan atau periode sastra.
Penyimpangan bahasa itu disebabkan bahasa puisi khususuya dan bahasa sastra
umumnya bersifat tidak stabil. Setiap angkatan dalam sastra mengubah konvensi
sastra sambil memakai dan menentangnya (Teeuw, 1983:4).
Geoffrey Leech
menyebutkan adanya 9 jenis penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam
puisi. Tidak setiap puisi memiliki 9 aspek penyimpangan itu, tetapi hanya
memiliki salah satu atau beberapa aspek penyimpangan yang dominan pada jaman
tertentu (Leech: 1976, 42-52).
1. Penyimpanga
Leksikal
Kata-kata yang digunakan dalam
puisi menyimpang dari kata-kata yang kita pergunakan dalam hidup sehari-hari.
Penyair memilih kata-kata yang sesuai dengan pengucapan jiwanya atau kata-kata
itu disesuaikan dengan tuntutan estetis. Misalnya: mentari, pepintu, keder,
ngloyor, leluka, barwah, dan sebagainya.
2. Penyimpangan
Semantis
Makna dalam puisi tidak menunjuk
pada satu makna, namun menunjuk pada makna ganda, Makna kata-kata tidak selalu
sama dengan makna dalam bahasa sehari-hari. Juga tidak ada kesatuan makna
konotatif dari penyair satu dengan penyair lainnya. Kata "sungai" bagi penyair yang berasal
dari daerah banjir akan dikonotasikan dengan bencana, sementara para penangkap
ikan dan penambang akan menyebutnya sebagai sumber penghidupan. Kata
"bulan" dalam puisi Sitor berbeda dengan kata "bulan" dalam
puisi Toto Sudarto Bachtiar.
3. Penyimpangan
Fonologis
Untuk kepentingan rima, penyair
sering mengadakan penyimpangan bunyi. Dalam puisi Chairil Anwar
"Aku", kata “perih"
diganti dengan “peri". Dalam
puisi lamanya, kata "menggigil"
diganti "menggigir"; kata
"melayang" diganti dengan “melayah”, dan sebagainya.
4. Penyimpangan
Morfologis
Penyair sering melanggar kaidah
morfologis secara sengaja. Dalam puisi-puisi Rendra kita temui istilah:
mungkret, mangkal, ngangkang, nangis, gerayangi, dan sebagainya, sebagai contoh
penyimpangan morfologis.
5. Penyimpangan
Sintaksis
Di depan sudah dijelaskan bahwa
kata-kata dalam puisi bukan membangun kalimat, namun membangun larik-larik. Dapat
kita lihat, bahwa penyair sering alpa menggunakan huruf besar untuk permulaan
kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri kalimat itu. Sering pula sulit kita
mencari kesatuan manakah yang dapat kita sebut satu kalimat dalam puisi.
Baris-baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang dikemukakan
mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat tersebut.
6. Penggunaan
Dialek
Penyair ingin mengungkapkan isi
hatinya secara tuntas. Pengucapan isi hati dengan bahasa Indonesia dirasa belum
mewakili ketuntasan itu. Sebab itu, penyair menggunakan kata-kata menyimpang
dari bahasa Indonesia yang bersih dari dialek. Para penyair mutakhir. banyak
menggunakan dialek. Misalnya, Darmanto Jt. menggunakan istilah: aduh laelae,
tobil, nyemar, madep, manteb, gemati, nastiti, dan sebagainya. Linus Suryadi
Ag. menggunakan dialek Jawa: banget, kepradah, andhap asor, biyung, wok
kethekur, dan sebagainya.
7. Penggunaan
Register
Register adalah ragam bahasa yang
digunakan kelompok atau profesi tertentu dalam masyarakat. Register juga
disebut dialek profesi. Seringkali dialek profesi ini tidak diketahui secara
luas oleh pembaca, apalagi jika register itu diambil dari bahasa daerah.
Misalnya di kalangan bangsawan Jawa, anak yang dihasilkan dari hubungan gelap
disebut lembu peteng. Ada juga istilah kumpul kebo, procotan, Paman doblang,
simbok, den mas, ekaristi, sungkem, bihten, dan sebagainya. Semua itu merupakan
contoh register.
8. Penyimpangan
Historis
Penyimpangan historis berupa penggunaan
kata-kata kuno yang sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari.
Penggunaannya dimaksudkan untuk mempertinggi nilai estetis. Misalnya,
kata-kata jenawi, bilur, lebuh, bonda, dewangga, ripuk, lilih, bahana, dan
sebagainya. Penggunaan kata-kata yang "dakik-dakik" seperti dalam larik-larik
lagu Guruh Sukarno, dalam puisi malahan akan mengurangi nilai estetis puisi
tersebut.
9. Penyimpangan
Grafologis
Dalam menulis kata-kata, kalimat,
larik dan baris, penyair sengaja melakukan penyimpangan dari kaidah bahasa yang
biasa berlaku. Huruf besar dan tanda-tanda baca tidak dipergunakan sebagaimana
mestinya. Hal itu digunakan penyair untuk memperoleh efek estetik. Penyimpangan
sistem tulisan tersebut disebut penyimpangan grafologis.
B. STRUKTUR SINTAKSIS
PUISI
Meskipun
kaidah sintaksis sering diabaikan dalam puisi, namun untuk menafsirkan makna
puisi kita hendaknya menafsirkan larik-larik puisi itu sebagai suatu kesatuan
sintaksis. Penafsiran makna itu mungkin hanya dalam konsep pikiran saja karena
kita terbiasa menghadapi wacana yang dibangun dalam kesatuan sintaksis. Pola
sintaksis puisi juga mempunyai fungsi semantik seperti dalam bahasa
sehari-hari.
Pola
sintaksis puisi dapat runtut seperti dalam prosa, namun sering kali penyair
membuat pola yang aneh, dibuat lain daripada yang lain untuk menunjukkan
kreativitas dan identitasnya. Penyair dapat mengabaikan kaidah sintaksis yang
harus dipatuhi, namun dapat juga mengulang-ulang pola-pola tertentu sehingga
beraturan. Yang pertama disebut infrastrukturisasi sedangkan yang kedua
disebut suprastrukturisasi.
Puisi
Ajip Rosidi yang berjudul "Jante Arkidam" banyak menggunakan kalimat
inversi dan pola kalimat/frasa yang diulang-ulang, seperti dalam kutipan ini:
Tajam tangan lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lelangdia terbang.
(inversi)
Arkidam, Jante Arkidam
...........................
Arkidam, Jante Arkidam.
(pengulangan frasa berkali-kali)
Karena
pembicaraan tentang sintaksis sulit dilaksanakan dengan saksama, maka kesatuan
sintaksis dapat dibicarakan juga dalam larik dan bait.. Sebuah larik mewakili
kesatuan gagasan penyair dan jika dibangun bersama-sama larik-larik lain
membangun kesatuan gagasan yang lebih. besar. Bait-bait puisi pada hakekatnya
mirip dengan sebuah paragraf prosa. Di dalam bait itu terdapat satu larik yang
merupakan kunci gagasan. Pada seluruh puisi itu terdapat satu atau beberapa
bait yang merupakan klimaks gagasan penyair. Bait yang merupakan klimaks itulah
yang dapat menjadi kunci tema dan amanat yang hendak disampaikan oleh penyair.
Namun karena kebebasan penyair, belum tentu gagasan pokoknya terdapat dalam
suatu bait tertentu.
Demikian
uraian tentang bentuk sintaksis dari puisi yang dapat dihubungkan dengan larik
dan bait puisi. Contoh :
itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar
tanya: aku salah?
kulihat tubuh
mengucur darah
aku berkaca
dalam darah
terbayang terang
dimata masa
bertukar rupa
ini segera
mengatup luka
aku bersuka
itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
(1943).
Kata-kata dalam puisi
tidak tunduk pada aturan logis pada kalimat namun tunduk pada ritma larik pada
puisi. Hal ini disebabkan karena kesatuan kata-kata itu bukanlah kalimat akan
tetapi larik-larik puisi itu.
Dalam baris-baris puisi "Isa"
karya Chairil Anwar ini, sepatah kata seperti /rubuh/ dan /patah/ membentuk
kesatuan makna secara mandiri.
Baris-baris puisi yang hanya terdiri atas satu kata
/rubuh/ dan /patah/ menunjukkan suatu kesatuan makna yang bulat. Baris-baris
tersebut tidak membentuk kesatuan sintaksis dengan baris lainnya, namun mampu
membentuk kesatuan sintaksis tersendiri yang luasnya dapat melebihi satu kalimat.
Ada dua baris yang terdiri atas satu kata, yakni:
/rubuh/ dan /patah/. Ada tiga bait yang hanya terdiri atas masing-masing satu
baris, yakni: /mendampar tanya: aku salah?/, /mengatup luka/, dan /aku
bersuka/. Kesatuan makna dari larik tersebut mewakili satu bait puisi.
Karena adanya kemungkinan satu kata atau frasa mewakili
satu kesatuan makna yang bulat, maka suatu struktur puisi menciptakan suatu
enyambemen, suatu saat istirahat pada akhir baris atau bait, yang tidak kita
dapati pada struktur kalimat. Karena enyambemen ini, maka pembacaan puisi akan
disertai perhentian yang cukup pada tiap akhir baris; dan perhatian itu lebih
lama pada setiap akhir bait. Hal ini dilakukan untuk menegaskan kesatuan makna
dalam baris/bait itu.
Simpulan : Setiap larik dalam puisi akan membentuk satu kesatuan makna
yang bulat. Karena adanya kemungkinan satu kata atau frasa mewakili kesatuan
makna yang bulat maka struktur puisi menciptakan suatu enyambemen yaitu
peristirahatan pada akhir baris dan bait. Artinya pada pembacaan puisi, akan
disertai pemberhentian pada setiap akhir baris, dan lebih lama pada setiap
akhir bait. Hal ini dilakukan untuk menegaskan makna dalam setiap baris dan
bait.
C. KODE BAHASA
Dalam puisi
kata-kata frasa dan kalimat mengandung makna tambahan atau makna konotatif.
Sebuah kata memungkinkan memiliki makna ganda. Kata yang nampaknya tidak
bermakna diberi makna baru, bahkan diberi nilai rasa baru. Memang tidak semua
kata, frasa, kalimat bermakna tambahan, pun begitu, puisi tidak mungkin tanpa
makna tambahan sehingga kehilangan kodrat bahasa puisi.
Bahasa puisi adalah bahasa
figuratif yang bersusun-susun. Artinya, bahasa figuratif yang digunakan
menyebabkan makna dalam baris-baris puisi tersembunyi dan harus ditafsirkan. Sehingga
proses mencari makna dalam puisi merupakan proses pergulatan yang terus menerus.
Bahasa figuratif, pengimajian, kata
konkret, dan diksi khas dari penyair menyebabkan pembaca puisi harus mencari
makna yang hendak disampaikan penyair dengan cara lebih sulit daripada makna
di dalam bahasa prosa. Pengetahuan tentang latar belakang penyair akan
mempermudah mengungkapkan makna yang bersifat khas itu.
Rolland Barthes menyebutkan adanya 5 kode bahasa yang
dapat membantu pembaca memahami makna karya sastra. Kode-kode itu melatar belakangi
makna karya sastra. Meskipun pandangannya itu diterapkan untuk prosa, namun
prinsip-prinsipnya dapat digunakan untuk puisi juga. Lima kode itu, ialah :
1. Kode
hermeneutik (penafsiran). Dalam puisi, makna yang hendak disampaikan
tersembunyi, menimbulkan tanda tanya bagi pembaca. Tanda tanya itu menyebabkan
daya tarik karena pembaca penasaran ingin mengetahui jawabannya. Misalnya,
dalam puisi "Senja di Pelabuhan Kecil", pembaca akan bertanya apa
maksud penyair dengan judul itu? Apa makna senja dan apa makna pelabuhan. Lagi
pula pelabuhan itu kecil, apakah maknanya. Dengan latar belakang pengetahuan
yang cukup tentang bahasa sastra, pembaca akan mampu menafsirkan makna puisi
itu. Begitu ptila menghadapi baris di bawah judul "Buat Sri Ayati".
Siapakah Sri Ayati? Apa hubungannya dengan pelabuhan kecil? Apa hubungannya
dengan senja? Apa hubungannya dengan penyair?
2. Kode proairetik
(perbuatan). Dalam karya sastra perbuatan atau gerak atau alur pikiran
penyair merupakan rentetan yang membentuk garis linear. Pembaca dapat
menelusuri gerak batin dan pikiran penyair melalui perkembangan pemikiran yang
linear itu. Baris demi baris membentuk bait. Bait pertama dan kedua serta
seterusnya merupakan gerak berkesinambungan. Gagasan yang tersusun merupakan
gagasan runtut. Jika dipelajari.dengan saksama, maka kita akan menemukan
kesamaan gerak batin penyair yang sama dalam berbagai puisinya. Ciri khas itu
akan nampak karena seorang penyair mempunyai metode yang hampir sama dalam
proses penciptaan puisi. Sulit kiranya seorang penyair mengubah teknik
pengucapan puisi yang sudah dimilikinya.
3. Kode semantik
(sememe). Makna yang kita tafsirkan dalam puisi adalah makna konotatif.
Bahasa kias banyak kita jumpai. Sebab itu, menafsirkan puisi berbeda dengan
menafsirkan prosa. Menghadapi bentuk puisi, pembaca sudah harus bersiap-siap
untuk memahami bahasanya yang khas.
4. Kode Simbolik.
Kode semantik berhubungan dengan kode simbolik; hanya kode semantik lebih luas.
Kode simbolik lebih mengarah pada kode bahasa sastra yang
mengungkapkan/melambangkan suatu hal dengan hal lain. Makna lambang banyak kita
jumpai dalam puisi. Peristiwa-peristiwa yang dilukiskan dalam puisi belum tentu
bermaksud hanya untuk bercerita, namun mungkin merupakan lambang suatu
kejadian. Bahkan mungkin merupakan lambang kejadian yang akan datang.
Misalnya, nyanyian "Semut Ireng" (semut hitam) yang terkenal dalam
sastra Jawa merupakan lambang kejatuhan kerajaan Surakarta. Nyanyian
"Jaman Edan" dalam Kalatida karya Ranggawarsita merupakan lambang
kebobrokan jaman. Secara khusus, kata-kata dan lukisan peristiwa juga penuh
dengan lambang-lambang seperti yang sudah dipaparkan tersebut.
5. Kode budaya.
Pemahaman suatu bahasa akan lengkap jika kita memahami kode budaya dari bahasa
itu. Banyak kata-kata dan ungkapan yang sulit dipahami secara tepat dan langsung
jika kita tidak memahami latar belakang kebudayaan dari bahasa itu. Memahami
bahasa diperlukan "cultural understanding" dari pembaca. Misalnya
"Dik Narti" dalam puisi Rendra, sulit diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris karena dalam sistem budaya bahasa Inggris panggilan serupa itu tidak
ada. Demikian pula kata "Jeng" dalam bahasa Jawa, Kata Durno,
Sengkuni, Kresno, Semar, mBilung, dan sebagainya mewakili suatu konsep makna
yang hanya bisa ditelusuri melalui kode budaya Jawa. Durno misalnya mewakili
watak manusia yang seperti tokoh wayang Durno yang licik, penghasut, dan
berhati jahat (dalam puisi demonstrasi). Kresno mewakili tokoh bijaksana dan
berotak brilyant. Sengkuni mewakili tokoh jahat, plin-plan, penghasut,
berwatak lemah, dan serakah. Kata "midodareni" dapat dipahami
melalui pemahaman tata cara perkawinan Jawa, dan sebagainya.
thanks
ReplyDeleteWow bagus sekali skerang saya lebih mengerti apa itu puisi atau makna puisi
ReplyDelete