Monday 15 April 2013

ISLAM, BUKAN PANCASILA


Nama          : Nur Kunaifi
NPM           : 07410615
Kelas           : 6 A
Pengampu   : Bpk. Agus Wismanto
  
 
Jauh sebelum ketatapan pancasila sebagai satu-satunya asas oleh Orde Baru digugat oleh umat Islam, pancasila yang  digali oleh Soekarno ini juga mendapatkan tantangan keras dari tokoh-tokoh Islam, baik pada awal kemerdekaan ataupun pada masa sidang di majelis Konstituante, sidang yang dilakukan untuk merumuskan dasar Negara.
Di Konstituante, tokoh-tokoh Islam sengit menentang pancasila dan mengajukan Islam sebagai dasar Negara. Pada pidato pertama di Konstituante 12 November 1957, tokoh Masyumi Mohammad Natsir mengatakan, sejak dulu cita-cita politik Masyumi adalah menjadikan Islam sebagai dasar Negara.
“Bukan semata-mata umat Islam karena golongan terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami mengajukan Islam sebagai dasar Negara, tetapi berdasar pada keyakinan kami, ajaran-ajaran Islam mengenai ketatanegaraan dan kemasyarakatan dapat menjamin hidup keragaman atas saling menghargai antara berbagai golongan di dalam Negara, terang natsir dengan bahasa yang indah, natsir menggambarkan keinginan umat Islam, “kalaupun besar tidak melanda. Kalau pun tinggi malah melindungi”.
Pidato itu Natsir juga mengeritik pancasila sebagai gagasan yang bersumber dari hasil penggalian manusia, yang tidak bersumber pada agama.
“Kalaupun ada ‘Sila Ketuhanan’, sumbernya adalah sekuler, laadiniyah (selain agama), tanpa agama,” tegasnya. Bagi umat Islam, ujar Natsir, menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara, ibarat melompat dari bumi tempat berpijak ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa,. Itu disebabkan karena Pancasila ingin menjadi idiologi yang berdiri sendiri, yang netral dari agama dan berada di atas segala-galanya. Natsir mengatakan dasar Negara haruslah sesuatu yang sudah mengakar di masyarakat, dan realitas sejarah membuktikan bahwa Islam sebagai agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia yang cukup mengakar di masyarakat. Islam mempunyai sumber yang jelas, yang berasal dari wahyu, tidak seperti pancasila yang mempunyai banyak tafsiran, tergantung pada pandangan filosofis seseorang.
Selain Natsir, Buya Hamka yang juga anggota Masyumi mengatakan bahwa Pancasila dikenal oleh beberapa orang saja, sedangkan sebagaian besar penduduk Indonesia menganut dasar yang asli, yaitu Islam.
“Islam adalah dasar yang asli di tanah air kita dan pribadi sejati bangsa Indonesia,” tegasnya. Hamka bahkan berkata, “pancasila tidak mempunyai dasar sejarah di Indonesia”. Hamka juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila merupakan landasan bagi semangat demokrasi.
Hamka menjelaskan bahwa sejak abad 19 perjuangan umat islam untuk kemerdekaan adalah dilatar belakangi oleh perjuangan untuk menegakkan suatu Negara berdasarkan Islam. Perang yang digelorakan oleh diponegoro, Imam Bonjol, Teuku cik ditiro, pangeran antasari, Sultan Hasanuddin, dan lain-lain untuk mengusir kolonial belanda, bertujuan untuk mewujudkan cita-cita Negara berdasarkan Islam.
            “Kamilah yang meneruskan wasiat mereka,” tegas Hamka sambil menyebut orang yang menghianati ruh nenek moyang pemimpin terdahulu adalah orang yang menukar perjuangan mereka (para pahlawan) dengan Pancasila.
            Dukungan terhadap Islam sebagai dasar Negara juga disampaikan anggota konstituante asal NU. KH. Ahmad Zaini misalnya, meragukan Pancasila sebagai dasar Negara yang mempunyai landasan yang kuat dan bisa dijadikan acuan kongkrit bagi kehidupan bangsa ini. Kata KH. Zaini, semboyan-semboyan dalam lima sila Pancasila memang bagus dan menarik, tetapi Pancasila tidak mempunyai pedoman untuk mempraktikan ajarannya itu dengan batas-batas serta saluran-saluran yang kongkrit. Kerena itu kata KH. Zaini, semboyan-semboyan dalam Pancasila sulit dibuktikan dengan kongkrit.
            Selain KH. Zaini, tokoh lain seperti KH. Masjkur dan KH. Saifuddin Zuhri juga meragukan Pancasila bisa menjadi acuan kongkrit bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. MASJKUR menyebut Pancasila sebagai formula kosong tanpa arah.
              “Pancasila akan menjadi perwujudan orang yang mengisinya. Andaikata ketuhanan yang maha esa yang tercantum dalam sila pertama di dalam pancasila diisi orang atau golongan yang mengakui bahwa tuhan adalah batu, maka ketuhanan yang maha esa akan berisi batu. Kalau disi orang atau golongan yang mempertuhankan pohon, ketuhanan dalam pancasila itu akan berisi pohon,” tegas Masjkur. Sedangkan menurut Zuhri, pancasila mempunyai banyak kekurangan-kekurangan disebabkan tidaknya kebulatan berfikir. Pancasila sulit untuk diklaim sebagai falsafah dan dasar Negara. Posisinya paling tinggi sebagai persetujuan polotik bagi aliran-aliran idieologi yang ada.
            Belakangan, ucapan kiai Masjkur bahwa Pancasila adalah Formula kosong tanpa arah, perwujudannya tergantung pada siapa yang mengisinya terbukti jelas. Pancasila ditafsirkan sebagai tunggal dan hegemonic oleh penguasa, untuk kepentingan kekuasaannya. Soekarno menafsirkan Pancasila, maka lahirlah ideology Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) dan demokrasi terpimpin yang otoriter.  Soeharto menafsirkan Pancasila, maka lahirlah istilah “Demokrasi Pancasila” sebuah system demokrasi yang menjungkirbalikkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, karena rezim Soeharto menjadikan pancasila sebagai asas tunggal bagi bangsa ini. Pancasila menjadi alat pemerintah yang berkuasa untuk memuaskan syahwat politiknya.
            Firasat para tokoh Islam terhadap ideology Pancasila yang ‘kosong’ dan bias ditafsirkan siapa saja tergantung kepentingan dan hasrat politiknya, belakangan hari terbukti. Dalam amanat indoktrinasi presiden soekarno pada lader Nasakom, 1 Juni 1965, Soekarno membongkar sendiri selubung dibalik ide pancasilanya. Dengan penuh keyakinan soekarno mengatakan.
            “Saudara-saudara, belakangan aku juga berkata bahwa Pancasila ini bisa juga diperas lagi secara lain, bukan secara ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, tetapi bisa juga diperas secara lain, dan perasan secara lain ini adalah Nasakom. Nasakom adalah pula perasan Pancasila. Nasakom adalah sebenarnya juga gotong royong, sebab gotong royong adalah De Totale perasaan dari Pancasila, maka perasaan daripada Nasakom adalah Pancasila pula,” tegas soekarno.
           
Semarang, 20 Juni 2010

No comments:

Post a Comment