Nama :
Nur Kunaifi
NPM :
07410615
Kelas :
6 A
Pengampu : Bpk. Agus Wismanto
Jauh
sebelum ketatapan pancasila sebagai satu-satunya asas oleh Orde Baru digugat
oleh umat Islam, pancasila yang digali
oleh Soekarno ini juga mendapatkan tantangan keras dari tokoh-tokoh Islam, baik
pada awal kemerdekaan ataupun pada masa sidang di majelis Konstituante, sidang
yang dilakukan untuk merumuskan dasar Negara.
Di
Konstituante, tokoh-tokoh Islam sengit menentang pancasila dan mengajukan Islam
sebagai dasar Negara. Pada pidato pertama di Konstituante 12 November 1957,
tokoh Masyumi Mohammad Natsir mengatakan, sejak dulu cita-cita politik Masyumi
adalah menjadikan Islam sebagai dasar Negara.
“Bukan
semata-mata umat Islam karena golongan terbanyak di kalangan rakyat Indonesia
seluruhnya, kami mengajukan Islam sebagai dasar Negara, tetapi berdasar pada
keyakinan kami, ajaran-ajaran Islam mengenai ketatanegaraan dan kemasyarakatan
dapat menjamin hidup keragaman atas saling menghargai antara berbagai golongan di
dalam Negara, terang natsir dengan bahasa yang indah, natsir menggambarkan
keinginan umat Islam, “kalaupun besar tidak melanda. Kalau pun tinggi malah
melindungi”.
Pidato
itu Natsir juga mengeritik pancasila sebagai gagasan yang bersumber dari hasil
penggalian manusia, yang tidak bersumber pada agama.
“Kalaupun
ada ‘Sila Ketuhanan’, sumbernya adalah sekuler, laadiniyah (selain agama),
tanpa agama,” tegasnya. Bagi umat Islam, ujar Natsir, menjadikan Pancasila
sebagai dasar Negara, ibarat melompat dari bumi tempat berpijak ke ruang hampa,
vacuum, tak berhawa,. Itu disebabkan karena Pancasila ingin menjadi idiologi
yang berdiri sendiri, yang netral dari agama dan berada di atas segala-galanya.
Natsir mengatakan dasar Negara haruslah sesuatu yang sudah mengakar di
masyarakat, dan realitas sejarah membuktikan bahwa Islam sebagai agama yang
dianut mayoritas rakyat Indonesia yang cukup mengakar di masyarakat. Islam
mempunyai sumber yang jelas, yang berasal dari wahyu, tidak seperti pancasila
yang mempunyai banyak tafsiran, tergantung pada pandangan filosofis seseorang.
Selain
Natsir, Buya Hamka yang juga anggota Masyumi mengatakan bahwa Pancasila dikenal
oleh beberapa orang saja, sedangkan sebagaian besar penduduk Indonesia menganut
dasar yang asli, yaitu Islam.
“Islam
adalah dasar yang asli di tanah air kita dan pribadi sejati bangsa Indonesia,”
tegasnya. Hamka bahkan berkata, “pancasila tidak mempunyai dasar sejarah di
Indonesia”. Hamka juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila
merupakan landasan bagi semangat demokrasi.
Hamka
menjelaskan bahwa sejak abad 19 perjuangan umat islam untuk kemerdekaan adalah
dilatar belakangi oleh perjuangan untuk menegakkan suatu Negara berdasarkan
Islam. Perang yang digelorakan oleh diponegoro, Imam Bonjol, Teuku cik ditiro,
pangeran antasari, Sultan Hasanuddin, dan lain-lain untuk mengusir kolonial
belanda, bertujuan untuk mewujudkan cita-cita Negara berdasarkan Islam.
“Kamilah yang meneruskan wasiat
mereka,” tegas Hamka sambil menyebut orang yang menghianati ruh nenek moyang
pemimpin terdahulu adalah orang yang menukar perjuangan mereka (para pahlawan)
dengan Pancasila.
Dukungan terhadap Islam sebagai
dasar Negara juga disampaikan anggota konstituante asal NU. KH. Ahmad Zaini
misalnya, meragukan Pancasila sebagai dasar Negara yang mempunyai landasan yang
kuat dan bisa dijadikan acuan kongkrit bagi kehidupan bangsa ini. Kata KH.
Zaini, semboyan-semboyan dalam lima sila Pancasila memang bagus dan menarik,
tetapi Pancasila tidak mempunyai pedoman untuk mempraktikan ajarannya itu
dengan batas-batas serta saluran-saluran yang kongkrit. Kerena itu kata KH.
Zaini, semboyan-semboyan dalam Pancasila sulit dibuktikan dengan kongkrit.
Selain KH. Zaini, tokoh lain seperti
KH. Masjkur dan KH. Saifuddin Zuhri juga meragukan Pancasila bisa menjadi acuan
kongkrit bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. MASJKUR menyebut Pancasila
sebagai formula kosong tanpa arah.
“Pancasila akan menjadi perwujudan
orang yang mengisinya. Andaikata ketuhanan yang maha esa yang tercantum dalam
sila pertama di dalam pancasila diisi orang atau golongan yang mengakui bahwa
tuhan adalah batu, maka ketuhanan yang maha esa akan berisi batu. Kalau disi
orang atau golongan yang mempertuhankan pohon, ketuhanan dalam pancasila itu
akan berisi pohon,” tegas Masjkur. Sedangkan menurut Zuhri, pancasila mempunyai
banyak kekurangan-kekurangan disebabkan tidaknya kebulatan berfikir. Pancasila
sulit untuk diklaim sebagai falsafah dan dasar Negara. Posisinya paling tinggi
sebagai persetujuan polotik bagi aliran-aliran idieologi yang ada.
Belakangan, ucapan kiai Masjkur
bahwa Pancasila adalah Formula kosong tanpa arah, perwujudannya tergantung pada
siapa yang mengisinya terbukti jelas. Pancasila ditafsirkan sebagai tunggal dan
hegemonic oleh penguasa, untuk kepentingan kekuasaannya. Soekarno menafsirkan
Pancasila, maka lahirlah ideology Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) dan
demokrasi terpimpin yang otoriter.
Soeharto menafsirkan Pancasila, maka lahirlah istilah “Demokrasi
Pancasila” sebuah system demokrasi yang menjungkirbalikkan nilai-nilai
demokrasi itu sendiri, karena rezim Soeharto menjadikan pancasila sebagai asas
tunggal bagi bangsa ini. Pancasila menjadi alat pemerintah yang berkuasa untuk
memuaskan syahwat politiknya.
Firasat para tokoh Islam terhadap
ideology Pancasila yang ‘kosong’ dan bias ditafsirkan siapa saja tergantung
kepentingan dan hasrat politiknya, belakangan hari terbukti. Dalam amanat indoktrinasi
presiden soekarno pada lader Nasakom, 1 Juni 1965, Soekarno membongkar sendiri
selubung dibalik ide pancasilanya. Dengan penuh keyakinan soekarno mengatakan.
“Saudara-saudara, belakangan aku
juga berkata bahwa Pancasila ini bisa juga diperas lagi secara lain, bukan
secara ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, tetapi bisa
juga diperas secara lain, dan perasan secara lain ini adalah Nasakom. Nasakom
adalah pula perasan Pancasila. Nasakom adalah sebenarnya juga gotong royong,
sebab gotong royong adalah De Totale perasaan dari Pancasila, maka perasaan
daripada Nasakom adalah Pancasila pula,” tegas soekarno.
Semarang, 20 Juni 2010
No comments:
Post a Comment