Sunday 21 April 2013

UNSUR-UNSUR PEMBL. APRESIASI PUISI


Wujud karya fiksi, dalam hal ini Puisi adalah TOTALITAS atau SISTEM dari sebuah bangunan strata norma (norma-norma puisi). Wujud FORMAL bangunan strata itu tidak lain adalah BAHASA, karena sebelum bahasa itu dituturkan atau ditulis, jelas kita belum bisa menyatakan sebagai karya fiksi atau karya yang lainnya. Artinya,  bahasa inilah yang menyebabkan sebuah karya (puisi) menjadi berwujud.
Dengan demikian, sebagai sebuah totalitas atau sistem, bahasa mempunyai unsur-unsur atau bagian-bagian atau strata, yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Menurut Roman Ingarden (Rene Wellek, 1968:151) strata norma puisi terdiri atas:
(1)   strata bunyi (sound stratum).  Bila seseorang sedang membaca, bertutur, berbicara (berpuisi), maka yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi enjambemen (jeda pendek, agak panjang, dan panjang). Tetapi, bunyi atau suara itu bukan hanya suara tak berarti. Suara sesuai dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti. Dengan adanya satuan-satuan suara itu orang menangkap artinya. Maka, strata bunyi itu menjadi dasar timbulnya strata kedua, yaitu strata arti atau makna.
(2)   stara makna (units of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan ­satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi paragraf, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak tersebut jelas memiliki makna, yang memunculkan,
(3)   strata objek yang diungkapkan penyairnya berupa latar, tokoh atau pelaku, dan secara implisit mengungkapkan,
(4)   strata ‘dunia’ penyair yang berupa visi atau sudut pandang dari ‘dunia’ si penyair, serta terimplisitkan sifat-sifat sublim, tragis, dramatis, suci, atau yang bersifat,
(5)   strata metafisis. Artinya, sesuatu yang menjadikan atau menyebabkan pembaca/pendengar (puisi) berkontemplasi atau merenung/menghayati.


Untuk lebih menjelaskan strata norma tersebut dianalisis sajak Chairil Anwar (1959:44) dan Darmanto Jt (1980:40) sebagai berikut.

                                     CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar,
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan rapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
   
Analisis Puisi melalui strata norma Roman Ingarden..
Strata Bunyi (sound stratum)
Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Jadi, strata bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu, di sini bahasa Indonesia. Hanya saja, dalam puisi pembicaraan strata bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapat­kan efek puitis atau nilai seni. Misalnya dalam bait pertama baris pertama ada asonansi a dan u, di baris kedua ada aliterasi s yang berturut-turut: gadis manis, sekarang iseng sendiri. Begitu juga dalam bait kedua ada asonansi a : melancar-memancar-sipacar-terang-terasa­ padanya. Aliterasi l dan r : perahu melancar, bulan memancar; laut terang, tapi terasa.
Pola sajak akhir bait ke-2, 3, 4 : a a - b b yang saling dipertentangkan. Memancar-sipacar dipertentangkan dengan terasa - padanya; kutempuh - merapuh dipertentangkan dengan dulu - cintaku. Pada umumnya dalam sajak itu bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal bersuara berat a dan u, seperti kelihatan dalam bait ke-3 dan ke-4, yang dipergunakan sebagai lambang rasa (klanksymboliek).

Strata Arti (units of meaning)
Satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, paragraf, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan arti.
Dalam bait pertama, 'cintaku jauh di pulau' berarti: kekasihku berada di pulau yang jauh. 'Gadis manis, sekarang iseng sendiri': kekasih si aku masih gadis dan manis. Karena si aku tidak ada, ia berbuat iseng menghabiskan waktu sendirian. Dapat juga berarti bahwa si gadis dengan sangat menantikan si aku.
Dalam bait kedua; untuk menuju kekasihnya itu si aku naik perahu deangan lancar pada waktu terang bulan dan ia membawa buah tangan untuk pacarnya (oleh-oleh). Angin pun membantu (angin buritan), laut terang: tidak berkabut. Meskipun demikian, si aku merasa tidak akan sampai kepada pacarnya.
Bait ketiga: Di air laut yang terang dan di angin yang bertiup kencang itu, menurut perasaannya secara sepenuhnya (diperasaan penghbisan) semuanya serba cepat, laju tanpa halangan (baris ke-1, 2), namun ajal (kematian) telah memberi isyarat akan mengakhiri hidup si aku.
Bait keempat menunjukkan bahwa si aku putus asa. Meskipun ia sudah bertahun-tahun berlayar sehingga perahu yang dinaiki akan rapuh kena air garam (baris ke-1, 2), namun kematian telah menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia sempat bertemu, bercintaan dengan kekasihnya.
Bait kelima. Karena itu, kekasih si aku yang berada di pulau yang jauh itu akan sia-sia menanti si aku dan mati menghabiskan waktu sendiri.
Sesungguhnya sajak itu berupa kiasan. Pacar si aku, gadis manis itu, adalah kiasan cita-cita si aku yang menarik, tetapi sukar dicapai, harus melalui laut yang melambangkan perjuangan yang penuh rintangan, bahkan menentang maut. Karena itu, sebelum si aku mencapai cita-citanya, ia telah meninggal.

Strata Ketiga
Strata satuan arti menimbulkan strata yang ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang.
Objek-objek yang dikemukakan: cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal.
Pelaku atau tokoh: si aku. Latar waktu: waktu malam terang bulan. Latar tempat: laut yang terang (tidak berkabut), berangin yang kencang (angin buritan).
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut.
Gadis manis, kekasih si aku berada sendirian di sebuah pulau yang jauh. Si aku ingin menemuinya, ia naik perahu dengan laju pada waktu malam terang bulan. Laut tak berkabut, angin buritan meniup dengan kencang. Akan tetapi, dalam keadaan serba lancar itu, si aku merasa bahwa ia tidak akan sampai pada kekasihnya karena maut yang lebih dahulu menghadang. Bahkan setelah bertahun-tahun berlayar hingga perahu yang dinaiki pun akan rapuh (rusak) kena air laut bertahun-tahun. Karena itu, kalau si aku tidak sampai ke tempat kekasihnya karena sudah meninggal sebelum sampai, maka gadis kekasihnya akan mati sia-sia menghabis-habiskan waktu sendirian.

Strata Keempat
Strata "dunia" yang tak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit, tampak sebagai berikut.
Dipandang dari sudut pandang tertentu kekasih si aku itu menarik, kelihatan dari kata-kata: gadis manis (bait pertama). Pada bait kedua, baris kesatu dan kedua menyatakan suasana yang menyenangkan dan si aku penuh kegembiraan berlayar di laut yang terang pada waktu terang bulan. Baris keempat menyatakan kegelisah­an si aku yang merasa bahwa usahanya sia-sia.
Bait ketiga, baris ke-1, 2 menyatakan segalanya berjalan dengan baik, perahu berlayar dengan laju. Baris ke-3, 4 menyatakan si aku telah dihadang kematiannya.
Bait keempat dan kelima menyatakan kegagalan si aku untuk mencapai gadisnya (cita-citanya) meskipun segala daya upaya telah dilakukan (sudah bertahun-tahun ditempuh dan perahu pun hampir hancur: kan merapuh). Sebelum mencapai cita-citanya (gadisnya) si aku sudah mati.

Strata kelima
Strata kelima adalah strata metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini strata itu berupa ketragisan hidup manusia; yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan, disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya telah berjalan dengan lancar, tetapi (sering kali) manusia tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya (yang dicita-citakannya) karena maut telah lebih dahulu menghadang. Dengan demikian, cita-cita yang hebat, menggairahkan, akan sia-sia saja.
Analisis strata norma Roman Ingarden itu dapat dikatakan hanya analisis puisi secara formal saja, menganalisis fenomena-fenomena saja. Roman Ingarden tidak mengemukakan nilai seni puisi yang dianalisis. Dengan hal yang demikian ini, analisis Roman Ingarden ini dikritik Rene Wellek (1968:156) bahwa analisisnya yang maju itu menjadi berkurang nilainya karena tidak dihubungkan dengan penilaian. Hal ini disebabkan bahwa puisi itu merupakan karya imajinatif bermedium bahasa yang unsur seni (estetik)-nya dominan (Wellek, 1968:25). Orang tak dapat memahami dan menganalisis karya seni tanpa menunjukkan penilaian. Analisis yang tanpa menghubung­kan dengan penilaian ini merupakan kesalahan analisis fenomenologis, begitu kata Wellek (1968:156).
Analisis strata norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada. Dengan demikian, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas. Namun, analisis yang hanya memecah-mecah demikian, dapat berakibat mengosongkan makna karya sastra (T.S. Eliot via Sansom, 1960:155). Karena itu, analisis strata norma harus ditingkatkan ke analisis semiotik, karya sastra sebagai sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur) karya sastra itu mempunyai makna (arti). Di samping itu, juga analisis ditingkatkan kepada fungsi estetik setiap feno­mena atau unsur-unsur karya sastra.
Dengan analisis strata norma dan semiotik itu, maka karya sastra (puisi) akan dapat didapatkan makna sepenuhnya dan dapat dipahami sebagai karya seni yang bernilai puitis (estetis), yaitu dengan mengingat fungsi estetik setiap fenomena atau unsur-unsur karya sastra (puisi).
Lebih lanjut analisis strata norma yang dihubungkan dengan semiotik dan fungsi estetik itu sebagai yang berikut.

Bunyi
Orkestrasi bunyi: efoni dan kakofoni; kombinasi vokal dan
konsonan tertentu: aliterasi dan asonansi.
Simbol bunyi: onomatope, kiasan suara, lambang rasa.
Sajak: awal, tengah, dalam, dan akhir.
Termasuk pembicaraan bunyi juga adalah irama: metrum dan
ritme.

Kata
Pembicaraan kata meliputi: kosa kata, unsur atau aspek ketatabahasaan; masalah denotatif dan konotatif; pilihan kata (diksi); bahasa kiasan; citraan; sarana retorika; dan gaya kalimat, serta gaya sajak.


Untuk Latihan, analisislah puisi Darmanto Jt (1980:40) sebagai berikut.
 
                                ISTERI
--isteri mesti digemateni
   Ia sumber berkah dan rejeki.
(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)

Isteri sangat penting untuk ngurus kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
mengirim rantang ke sawah
dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita


Ia sisishan kita,
                   kalau kita pergi kondangan
Ia tetimbangan kita,
                    kalau kita mau jual palawija
Ia teman belakang kita,
                    kalau kita lapar dan mau makan
Ia sigaraning nyawa kita,
                     kalau kita
Ia sakti kita!
                 Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama penting dengan
kerbau, luku, sawah, dan pohon kelapa.
Ia kita cangkul malam hari dan tak pernah ngeluh walau cape
Ia selalu rapih menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa
Sukur: tahu terimakasih dan meninggikan harkat kita sebagai
lelaki. Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan bersungguh-
sungguh seperti kita memelihara ayam, itik, kambing atau
jagung.
Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
meluakannya:
             Seperti lidah ia di mulut kita
                                                           tak terasa
             Seperti jantung ia di dada kita
                                                              tak teraba
Ya. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
melupakannya.
Jadi waspadalah!
Tetap, madep, manteb
Gemati, nastiti, ngati-ati
Supaya kita mandiri—perkasa dan pinter ngatur hidup
Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel atau lurah
Seperti Subadra bagi Arjuna
makin jelita ia di antara maru-marunya:
Seperti Arimbi bagi Bima
jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka;
Seperti Sawitri bagi Setyawan
Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka.

Ah.Ah.Ah
Alangkah pentingnya isteri ketika kita mulai melupakannya.

Hormatilah isterimu
Seperti kau menghormati Dewi Sri
Sumber hidupmu.
Makanlah
Karena memang demikianlah suratannya!
--Towikromo.
    

No comments:

Post a Comment