Sunday 28 April 2013

"Ketika Cinta Ber-Tajwid"

Saat pertama kali berjumpa denganmu, aku bagaikan berjumpa dengan saktah. hanya bisa terpana dengan menahan nafas sebentar.

Aku di matamu mungkin bagaikan nun mati di antara idgham billagunnah, terlihat tapi dianggap tak ada.

Aku ungkapkan maksud dan tujuan perasaanku seperti Idzhar, jelas dan terang.

Jika mim mati bertemu ba disebut ikhfa syafawi, maka jika aku bertemu dirimu, itu disebut cinta.

Sejenak pandangan kita bertemu, lalu tiba - tiba semua itu seperti Idgham mutamaatsilain, melebur jadi satu.

Cintaku padamu seperti Mad Wajib Muttasil, paling panjang di antara yang lainnya.

Setelah kau terima cintaku nanti, hatiku rasanya seperti Qalqalah kubro, terpantul- pantul dengan keras.

Dan akhirnya setelah lama kita bersama, cinta kita seperti Iqlab, ditandai dengan dua hati yang menyatu.

Sayangku padamu seperti mad thobi’i dalam Quran. Buanyaaakkk beneerrrrr :D

Semoga dalam hubungan kita ini kayak idgham bilagunnah, cuma berdua, lam dan ro’.

Layaknya waqaf mu’annaqah, engkau hanya boleh berhenti di salah satunya. DIA atau aku?

Meski perhatianku tak terlihat seperti alif lam syamsiah, cintaku padamu seperti alif lam Qomariah, terbaca jelas.

Kau dan aku seperti Idghom Mutaqorribain, perjumpaan 2 huruf yang sama makhrajnya tapi berlainan sifatnya.

Aku harap cinta kita seperti waqaf lazim, berhenti sempurna di akhir hayat.

Sama halnya dengan Mad ‘aridh dimana tiap mad bertemu lin sukun aridh akan berhenti, seperti itulah pandanganku ketika melihatmu.

Layaknya huruf Tafkhim, namamu pun bercetak tebal di pikiranku.

Seperti Hukum Imalah yang dikhususkan untuk Ro’ saja, begitu juga aku yang hanya untukmu.

Semoga aku jadi yang terakhir untuk kamu seperti mad aridlisukun

Sunday 21 April 2013

UNSUR-UNSUR PEMBL. APRESIASI PUISI


Wujud karya fiksi, dalam hal ini Puisi adalah TOTALITAS atau SISTEM dari sebuah bangunan strata norma (norma-norma puisi). Wujud FORMAL bangunan strata itu tidak lain adalah BAHASA, karena sebelum bahasa itu dituturkan atau ditulis, jelas kita belum bisa menyatakan sebagai karya fiksi atau karya yang lainnya. Artinya,  bahasa inilah yang menyebabkan sebuah karya (puisi) menjadi berwujud.
Dengan demikian, sebagai sebuah totalitas atau sistem, bahasa mempunyai unsur-unsur atau bagian-bagian atau strata, yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Menurut Roman Ingarden (Rene Wellek, 1968:151) strata norma puisi terdiri atas:
(1)   strata bunyi (sound stratum).  Bila seseorang sedang membaca, bertutur, berbicara (berpuisi), maka yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi enjambemen (jeda pendek, agak panjang, dan panjang). Tetapi, bunyi atau suara itu bukan hanya suara tak berarti. Suara sesuai dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti. Dengan adanya satuan-satuan suara itu orang menangkap artinya. Maka, strata bunyi itu menjadi dasar timbulnya strata kedua, yaitu strata arti atau makna.
(2)   stara makna (units of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan ­satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi paragraf, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak tersebut jelas memiliki makna, yang memunculkan,
(3)   strata objek yang diungkapkan penyairnya berupa latar, tokoh atau pelaku, dan secara implisit mengungkapkan,
(4)   strata ‘dunia’ penyair yang berupa visi atau sudut pandang dari ‘dunia’ si penyair, serta terimplisitkan sifat-sifat sublim, tragis, dramatis, suci, atau yang bersifat,
(5)   strata metafisis. Artinya, sesuatu yang menjadikan atau menyebabkan pembaca/pendengar (puisi) berkontemplasi atau merenung/menghayati.


Untuk lebih menjelaskan strata norma tersebut dianalisis sajak Chairil Anwar (1959:44) dan Darmanto Jt (1980:40) sebagai berikut.

                                     CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar,
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan rapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
   
Analisis Puisi melalui strata norma Roman Ingarden..
Strata Bunyi (sound stratum)
Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Jadi, strata bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu, di sini bahasa Indonesia. Hanya saja, dalam puisi pembicaraan strata bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapat­kan efek puitis atau nilai seni. Misalnya dalam bait pertama baris pertama ada asonansi a dan u, di baris kedua ada aliterasi s yang berturut-turut: gadis manis, sekarang iseng sendiri. Begitu juga dalam bait kedua ada asonansi a : melancar-memancar-sipacar-terang-terasa­ padanya. Aliterasi l dan r : perahu melancar, bulan memancar; laut terang, tapi terasa.
Pola sajak akhir bait ke-2, 3, 4 : a a - b b yang saling dipertentangkan. Memancar-sipacar dipertentangkan dengan terasa - padanya; kutempuh - merapuh dipertentangkan dengan dulu - cintaku. Pada umumnya dalam sajak itu bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal bersuara berat a dan u, seperti kelihatan dalam bait ke-3 dan ke-4, yang dipergunakan sebagai lambang rasa (klanksymboliek).

Strata Arti (units of meaning)
Satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, paragraf, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan arti.
Dalam bait pertama, 'cintaku jauh di pulau' berarti: kekasihku berada di pulau yang jauh. 'Gadis manis, sekarang iseng sendiri': kekasih si aku masih gadis dan manis. Karena si aku tidak ada, ia berbuat iseng menghabiskan waktu sendirian. Dapat juga berarti bahwa si gadis dengan sangat menantikan si aku.
Dalam bait kedua; untuk menuju kekasihnya itu si aku naik perahu deangan lancar pada waktu terang bulan dan ia membawa buah tangan untuk pacarnya (oleh-oleh). Angin pun membantu (angin buritan), laut terang: tidak berkabut. Meskipun demikian, si aku merasa tidak akan sampai kepada pacarnya.
Bait ketiga: Di air laut yang terang dan di angin yang bertiup kencang itu, menurut perasaannya secara sepenuhnya (diperasaan penghbisan) semuanya serba cepat, laju tanpa halangan (baris ke-1, 2), namun ajal (kematian) telah memberi isyarat akan mengakhiri hidup si aku.
Bait keempat menunjukkan bahwa si aku putus asa. Meskipun ia sudah bertahun-tahun berlayar sehingga perahu yang dinaiki akan rapuh kena air garam (baris ke-1, 2), namun kematian telah menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia sempat bertemu, bercintaan dengan kekasihnya.
Bait kelima. Karena itu, kekasih si aku yang berada di pulau yang jauh itu akan sia-sia menanti si aku dan mati menghabiskan waktu sendiri.
Sesungguhnya sajak itu berupa kiasan. Pacar si aku, gadis manis itu, adalah kiasan cita-cita si aku yang menarik, tetapi sukar dicapai, harus melalui laut yang melambangkan perjuangan yang penuh rintangan, bahkan menentang maut. Karena itu, sebelum si aku mencapai cita-citanya, ia telah meninggal.

Strata Ketiga
Strata satuan arti menimbulkan strata yang ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang.
Objek-objek yang dikemukakan: cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal.
Pelaku atau tokoh: si aku. Latar waktu: waktu malam terang bulan. Latar tempat: laut yang terang (tidak berkabut), berangin yang kencang (angin buritan).
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut.
Gadis manis, kekasih si aku berada sendirian di sebuah pulau yang jauh. Si aku ingin menemuinya, ia naik perahu dengan laju pada waktu malam terang bulan. Laut tak berkabut, angin buritan meniup dengan kencang. Akan tetapi, dalam keadaan serba lancar itu, si aku merasa bahwa ia tidak akan sampai pada kekasihnya karena maut yang lebih dahulu menghadang. Bahkan setelah bertahun-tahun berlayar hingga perahu yang dinaiki pun akan rapuh (rusak) kena air laut bertahun-tahun. Karena itu, kalau si aku tidak sampai ke tempat kekasihnya karena sudah meninggal sebelum sampai, maka gadis kekasihnya akan mati sia-sia menghabis-habiskan waktu sendirian.

Strata Keempat
Strata "dunia" yang tak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit, tampak sebagai berikut.
Dipandang dari sudut pandang tertentu kekasih si aku itu menarik, kelihatan dari kata-kata: gadis manis (bait pertama). Pada bait kedua, baris kesatu dan kedua menyatakan suasana yang menyenangkan dan si aku penuh kegembiraan berlayar di laut yang terang pada waktu terang bulan. Baris keempat menyatakan kegelisah­an si aku yang merasa bahwa usahanya sia-sia.
Bait ketiga, baris ke-1, 2 menyatakan segalanya berjalan dengan baik, perahu berlayar dengan laju. Baris ke-3, 4 menyatakan si aku telah dihadang kematiannya.
Bait keempat dan kelima menyatakan kegagalan si aku untuk mencapai gadisnya (cita-citanya) meskipun segala daya upaya telah dilakukan (sudah bertahun-tahun ditempuh dan perahu pun hampir hancur: kan merapuh). Sebelum mencapai cita-citanya (gadisnya) si aku sudah mati.

Strata kelima
Strata kelima adalah strata metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini strata itu berupa ketragisan hidup manusia; yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan, disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya telah berjalan dengan lancar, tetapi (sering kali) manusia tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya (yang dicita-citakannya) karena maut telah lebih dahulu menghadang. Dengan demikian, cita-cita yang hebat, menggairahkan, akan sia-sia saja.
Analisis strata norma Roman Ingarden itu dapat dikatakan hanya analisis puisi secara formal saja, menganalisis fenomena-fenomena saja. Roman Ingarden tidak mengemukakan nilai seni puisi yang dianalisis. Dengan hal yang demikian ini, analisis Roman Ingarden ini dikritik Rene Wellek (1968:156) bahwa analisisnya yang maju itu menjadi berkurang nilainya karena tidak dihubungkan dengan penilaian. Hal ini disebabkan bahwa puisi itu merupakan karya imajinatif bermedium bahasa yang unsur seni (estetik)-nya dominan (Wellek, 1968:25). Orang tak dapat memahami dan menganalisis karya seni tanpa menunjukkan penilaian. Analisis yang tanpa menghubung­kan dengan penilaian ini merupakan kesalahan analisis fenomenologis, begitu kata Wellek (1968:156).
Analisis strata norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada. Dengan demikian, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas. Namun, analisis yang hanya memecah-mecah demikian, dapat berakibat mengosongkan makna karya sastra (T.S. Eliot via Sansom, 1960:155). Karena itu, analisis strata norma harus ditingkatkan ke analisis semiotik, karya sastra sebagai sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur) karya sastra itu mempunyai makna (arti). Di samping itu, juga analisis ditingkatkan kepada fungsi estetik setiap feno­mena atau unsur-unsur karya sastra.
Dengan analisis strata norma dan semiotik itu, maka karya sastra (puisi) akan dapat didapatkan makna sepenuhnya dan dapat dipahami sebagai karya seni yang bernilai puitis (estetis), yaitu dengan mengingat fungsi estetik setiap fenomena atau unsur-unsur karya sastra (puisi).
Lebih lanjut analisis strata norma yang dihubungkan dengan semiotik dan fungsi estetik itu sebagai yang berikut.

Bunyi
Orkestrasi bunyi: efoni dan kakofoni; kombinasi vokal dan
konsonan tertentu: aliterasi dan asonansi.
Simbol bunyi: onomatope, kiasan suara, lambang rasa.
Sajak: awal, tengah, dalam, dan akhir.
Termasuk pembicaraan bunyi juga adalah irama: metrum dan
ritme.

Kata
Pembicaraan kata meliputi: kosa kata, unsur atau aspek ketatabahasaan; masalah denotatif dan konotatif; pilihan kata (diksi); bahasa kiasan; citraan; sarana retorika; dan gaya kalimat, serta gaya sajak.


Untuk Latihan, analisislah puisi Darmanto Jt (1980:40) sebagai berikut.
 
                                ISTERI
--isteri mesti digemateni
   Ia sumber berkah dan rejeki.
(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)

Isteri sangat penting untuk ngurus kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
mengirim rantang ke sawah
dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita


Ia sisishan kita,
                   kalau kita pergi kondangan
Ia tetimbangan kita,
                    kalau kita mau jual palawija
Ia teman belakang kita,
                    kalau kita lapar dan mau makan
Ia sigaraning nyawa kita,
                     kalau kita
Ia sakti kita!
                 Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama penting dengan
kerbau, luku, sawah, dan pohon kelapa.
Ia kita cangkul malam hari dan tak pernah ngeluh walau cape
Ia selalu rapih menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa
Sukur: tahu terimakasih dan meninggikan harkat kita sebagai
lelaki. Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan bersungguh-
sungguh seperti kita memelihara ayam, itik, kambing atau
jagung.
Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
meluakannya:
             Seperti lidah ia di mulut kita
                                                           tak terasa
             Seperti jantung ia di dada kita
                                                              tak teraba
Ya. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
melupakannya.
Jadi waspadalah!
Tetap, madep, manteb
Gemati, nastiti, ngati-ati
Supaya kita mandiri—perkasa dan pinter ngatur hidup
Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel atau lurah
Seperti Subadra bagi Arjuna
makin jelita ia di antara maru-marunya:
Seperti Arimbi bagi Bima
jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka;
Seperti Sawitri bagi Setyawan
Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka.

Ah.Ah.Ah
Alangkah pentingnya isteri ketika kita mulai melupakannya.

Hormatilah isterimu
Seperti kau menghormati Dewi Sri
Sumber hidupmu.
Makanlah
Karena memang demikianlah suratannya!
--Towikromo.
    

Thursday 18 April 2013

Kata Mutiara "Kemunafikan"

Tanpa kita sadari, kita sering terjerumus pada kemunafikan. Bagaimana tidak, kita rela meneteskan air mata, menundukkan kepala, memasrahkan jiwa hanya disaat kita membutuhkan belas kasihan Allah. Seolah Allahlah yang membutuhkan sandiwara kita. Kenapa ini terus berlangsung berulang -ulang. Apakah Allah tidak bosan melihat kemonotanan sikap kita?
Sungguh kita memang makhluk yang penuh intrik dan sandiwara. Semoga Allah senantiasa menjaga hati kita dari buruknya prasangka hati dan kesombongan.

Kekuatan ibadah bukan diukur dari banyaknya 'mantra' yang kita 'rapalkan' tetapi diukur dari seberapa lama kita bisa bertahan dan dari tetapnya keteguhan hati. Semoga Allah menetapkan kita termasuk orang-orang yang istiqomah di jalannya
Top of Form
Bottom of Form

Satu yang dibenci tuhan adalah menjadi seorang penghianat.
dulu setiap pahlawan kita berperang selalu mengatakan "Aku ingin di sisa waktuqu ini, bisa berarti untuk kemerdekaan bangsa Indonesia"
Tapi sekarang berbeda, para pahlawan kita saat berperang melawan Imperialisme selalu mengatakan "Aku ingin disisa waktuqu ini, menjadi bagian dari imperialisme".
Sungguh mengecewakannya para pahlawan di zaman Revermasi ini. Kepentingan perut dan hasrat nafsu menjadi noda yang mengotori jiwa para pahlawan kemerdekaan yang begitu tulus berjuang demi kemerdekaan bangsa ini.
Bung Karno telah mengatakan "Perjuangan kami tidaklah sulit karena kami melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat karena harus melawan saudara kalian sendiri"

Kita jangan sombong dengan mengatakan " Aku gak bisa tidur"
Padahal Allah telah menciptakan tidur sebagi nikmat yang diberikan kepada makhluknya, apa kita mau ingkar dengan nikmatnya tidur?
kalau kita sulit tidur, katakanlah "Ya Allah, janganlah kau cabut nikmat tidurqu"
tapi kalau kita bangun dari tidur ucapankanlah "Alhamdulillah, karena Allah masih menjadikan kita termasuk orang-orang yang bersyukur"

Tuesday 16 April 2013

Semiotika Puisi "Sunyi"


    A.Puisi Sunyi

Kali ini mentari redup
tanpa nur menyinari ruh
shiloet kemerahan tak lagi menggores
birunya cakrawala

dan...
ketika angin menyapa
embun tlah hilang dalam genggaman daun

awan pun kelam
menahan tangis hujan

lihatlah kalbuku...
dapatkah kau lihat pelangi membelah bumi?
atau...
dapatkah kau dengar hempasan ombak
menggetarkan karang hati insan?

Sunyi...

kesemuanya tentang  sunyi

Sunyi kadang menjadi mentari
kadang menjadi syair
kadang menjadi gerak
kadang juga membekukan kalbu

Kali ini...
biarkan aku menyatu bersama alam
mewarnai hidup dengan hijaunya daun
membasahi kalbu dengan tetesan embun
dan...
menari bersama hembusan angin

Sunyi adalah resapan jiwa
yang semoga menuju Nur Illahi...


kiriman dari elang


Setiap puisi memiliki rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Untuk dapat melihat rahasia tersebut diperlukan penafsiran, banyak cara yang dapat dilakukan dalam menafsirkan puisi, tergantung pada masing-masing individu akan memulainya dari mana. Seperti dikatakan oleh Teeuw (1983: 14) bahwa seseorang akan mengupas puisi dapat dari mana saja. Tidak penting apakah mulai dari aspek makna, bahasa, struktur saja atau aspek manapun.
B.  Penanda Atau Signifier Utama
Penanda  atau signifier utamanya adalah  /kesemuanya tentang sunyi/. Puisi ini mengungkapkan tentang penghayatan  kehidupan seseorang yang  ingin mencapai ketegaran hidup, masalah yang dihadapai ingin dijadikan sebagai semangat. Penggunaan kata /kesemuanya tentang sunyi/, sunyi di sini bisa menunjukkan makna sunyi, kesendirian, kehampaan, tanpa adanya teman. Sedang /kesemuanya/ , si aku merasa hidupnya penuh dengan kesunyian atau kehampaan

BAIT I
Kata-kata Denotatif yang digunakan dalam bait ini adalah  /mentari/ /redup/ /nur/ /menyinari/ /ruh//shiloet/ /kemerahan/ /menggores/ /birunya/ /cakrawala/ . Adapun kata yang mengandung konotasi adalah /mentari//redup//nur//ruh//shiolet//menggores//cakrawala/
Kata /mentari/  merupakan simbol dari sumber kehidupan, atau kehidupan itu sendiri, apalagi  ketika dirangkai dengan /redup/ karena yang dimaksud disini bukanlah matahari waktu tenggelam atau magrib, melainkan sebuah symbol tentang kehidupan yang yang dialami si aku kini menjadi redup.
Nur = cahaya, penerang kehidupan atau hati nurani.
Ruh = nyawa, kehidupan seseorang
Shiolet = pancaran cahaya, atau bias cahaya
Menggores = bukan arti yang sebenarnya, karena tidaklah mungkin cakrawala mampu digores, ini merupakan makna dari mengalahkan, menutupi sesuatu.
Cakrawala = bermakna langit
Pada bait ini dapat dimaknai pada saat ini bagi si aku kehidupan telah meredup tanpa cahaya (nurani) yang menyinari, ibaratnya adalah sore yang tak mampu menjaga birunya langit sehingga datanglah malam yang gelap.

BAIT II
Yang termasuk kata denotasi adalah  :
/angin//menyapa //embun//hilang//genggaman//daun//awan//kelam//menehan//tangis//hujan/
Adapun yang menggunakan makna konotasi adalah
/menyapa//genggaman//daun//tangis/
/menyapa/= menyambangi, menghampiri, apalagi ketika bersanding dengan kata /angin/ tentunya memiliki arti menghampiri.
/Genggaman/= tak jauh beda dengan makna sebenarnya, hanya saja ketika disejajarkan dengan kata /daun/ maka maknanya tentunya berubah, yaitu didalam daun tersebut.
/tangis/ di sini bukan bermakna tangis selayaknya manusia karena awan tidak bias menangis, hanya sebuah ibarat tangis yang selalu meneteskan air mata. Jadi ketika dirangkai dengan /menahan/ maka berarti tidak jadi turun hujan. Ini adalah sebuah ibarat.
Pada bait ini si aku membuat ibarat pada kehidupannya selalu dalam kesendirian yang bagaikanembun dihempas angin, sehingga daun kembali kosong dari embun, seperti juga hujan yang tertahan di langit.

BAIT III
Kata yang termasuk denotasi adalah :
/Kalbuku//kau//pelangi//membelah//bumi//hempasan//ombak//menggetarkan/ /karang//hati//insan//sunyi/
Kata yang termasuk konotasi adalah :
-         /kau/ merupakan metofora dari orang yang diajak bicara oleh si aku
-         /Pelangi/ = berkonotasi dengan corak kehidupan yang beragam dan indah
-         /Membelah/ bukan makna sebenarnya karena disandingkan dengan kata /pelangi/ ini hany sebuah ibarat saja, garis pelangi seolah mampu membelah bumi.
-         /Menggetarkan/ juga memiliki makna yang sama yaitu sebuah pengibaratan ombak yang menghantam karang.
-         /sunyi/ = kehampaan hidup yang dirasakan oleh si aku
Pada bait III ini si aku lebih banyak membuat pertanyaan dengan ibarat yang justru tidak masuk akal, sebagai penanda bahwa seperti itulah kehidupannya yang sekarang

BAIT IV
Kata-kata yang diganakan dalam bentuk denotasi adalah /kesemuanya//tentang//sunyi//mentari//syair//gerak//membekukan//kalbu
Adapun kata-kata yang dipakai sebagai kata yang berkonotasi adalah :
-         /Sunyi/ = seperti yang telah disebutkan di awal, jika dihungkan dengan kata /kesemuanya tentang sunyi/ dapat dikonotasikan sebagai kehidupan si aku yang merupakn sebuah kesunyian, kesendirian, kekosongan akan arti sebuah hidup yang sejati.
-         /mentari/ merupakan konotasi dari sumber cahaya, kebahagiaan, pelipur dari kehampaan yang hidup, yang jika disambung dengan kata sebelumnya akan mempunyai konotasi yang dapat dimaknai bahwa terkadang kehampaan hidup menjadi penerang disaat tertentu.
-         /syair/ memiliki konotasi sebagai pelipur lara, karena pada dasarnya syair atau lagu merupakan seni untuk menghibur diri. Jadi ketika dirangkai dengan kata /kadang/ dan /menjadi/ memiliki makna sebagai pelipur.
-         /membekukan/ memiliki konotasi mematikan hati ketika dirangkai dengan /kalbu/
Pada bait ini si aku mendapat hikmah dari kehampaan hidup yag sedang dijalaninya, bahwa ternyata dibalik masalah, persoalan hidup terdapat hikmah yang justru tidak terduga-duga.

BAIT V
Kata-kata yang digunakan oleh penyair secara denotative pada bait ini adalah :
/kali//ini//biarkan//aku//menyatu//alam//mewarnai//hidup//hijaunya//daun/ /membasahi//kalbu//kalbu//tetesan//embun//menari//hembusan//angin//sunyi//resapan//jiwa//menuju//nur//ilahi/
Adapun yang dipakai penyair sebagai kata-kata yang berkonotasi adalah
-         /Menyatu/ dapat dikonotasikan bersatu, apalagi berjajar dengan /alam/ sehingga memilki makna sebuah penghayatan si aku dengan kehidupan yang sedang dihadapi.
-         /mewarnai/ dapat dikonotasikan sebagai memberi corak pada kehidupan terlebih ketika bersanding dengan kata /hidup///dengan//hijaunya//daun// yang bermakna ingin menjadikan masalah dalam hidupnya biar terus berjalan bersama dan menyatu bersama kehidupan ini tanpa harus memberontak.
-         /menari/ ketika dirangkai dengan /bersama//hembusan//angin/ maka maknanya berubah menjadi hilang, karena setiap benda yang menyatu dengan angin akan terbawa pergi atau hilang.
-         /Sunyi/ ketika dirangkai dengan /resapan//jiwa/ memilki makna konotasi sebagai hal yang kebalikan dari yang pertama yang sunyi selalu digambarkan sebagai kekosongan.
pada bait terakhir ini juga sama, hanya saja ternyata sunyi dapat menjadi peresap jiwa yang menjadi doa si aku semoga kesunyiaan ini dapat mendekatkannya kepada tuhannya.
C.   Interpretasi Tanda
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa makna yang diungkapkan penyair dalam puisi “sunyi” adalah manusia yang hidup selalu dalam masalah, kesendirian, kehampaan akan arti sebuah kehidupan yang diimpikannya. Tapi ternyata dibalik itu semua yang tidak seperti yang menjadi harapannya ternyata membawa hikmah tersendiri. 

Semarang, 8 Mei 2010