ISTERI
--isteri
mesti digemateni
Ia
sumber berkah dan rejeki.
(Towikromo,
Tambran, Pundong, Bantul)
Isteri sangat penting untuk ngurus
kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
mengirim rantang ke sawah
dan ngeroki kita kalau kita masuk
angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita
Ia sisishan kita,
kalau kita
pergi kondangan
Ia tetimbangan kita,
kalau
kita mau jual palawija
Ia teman belakang kita,
kalau
kita lapar dan mau makan
Ia sigaraning nyawa kita,
kalau
kita
Ia sakti kita!
Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama
penting dengan
kerbau, luku, sawah, dan pohon
kelapa.
Ia kita cangkul malam hari dan tak
pernah ngeluh walau cape
Ia selalu rapih menyimpan benih yang
kita tanamkan dengan rasa
Sukur: tahu terimakasih dan
meninggikan harkat kita sebagai
lelaki. Ia selalu memelihara
anak-anak kita dengan bersungguh-
sungguh seperti kita memelihara
ayam, itik, kambing atau
jagung.
Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi
kita justru ketika kita mulai
melupakannya:
Seperti lidah ia di mulut kita
tak terasa
Seperti jantung ia di dada kita
tak teraba
Ya. Ya. Isteri sangat penting bagi
kita justru ketika kita mulai
melupakannya.
Jadi waspadalah!
Tetap, madep, manteb
Gemati, nastiti, ngati-ati
Supaya kita mandiri—perkasa dan pinter ngatur hidup
Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel atau lurah
Seperti Subadra bagi Arjuna
makin jelita ia di antara maru-marunya:
Seperti Arimbi bagi Bima
jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka;
Seperti Sawitri bagi Setyawan
Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka.
Ah.Ah.Ah
Alangkah pentingnya isteri ketika
kita mulai melupakannya.
Hormatilah
isterimu
Seperti kau
menghormati Dewi Sri
Sumber hidupmu.
Makanlah
Karena memang demikianlah
suratannya!
--Towikromo.
Analisis
Puisi “Istri” karya Darmanto Jt, melalui strata norma Roman Ingarden..
Strata
Bunyi (sound stratum)
Dalam puisi,
pembicaraan strata bunyi (sound stratum) haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi
atau pola bunyi yang bersifat khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan
efek puitis atau nilai seni. Misalnya dalam bait kedua ada asonansi i , u, dan a,
Ia sisishan kita,
kalau kita
pergi kondangan
Ia tetimbangan kita,
kalau
kita mau jual palawija
Ia teman belakang kita,
kalau
kita lapar dan mau makan
Ia sigaraning nyawa kita,
kalau
kita
Ia
sakti kita!
Begitu juga dalam bait
kedua ada asonansi i yang berturut-turut : Gemati, nastiti, ngati-ati. Pada bait ketiga terdapar asonansi a,
dan i serta aliterasi m dan h:
Ia kita cangkul malam hari dan tak pernah ngeluh walau cape
Ia selalu rapih menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa
Sukur: tahu terimakasih dan meninggikan harkat kita sebagai
lelaki. Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan bersungguh-
sungguh seperti kita memelihara ayam, itik, kambing atau jagung
Pada umumnya dalam
sajak itu bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal bersuara berat a, dan vocal
sedang i seperti kelihatan dalam bait ketiga.
Strata
Arti (units of meaning)
Pada bait pertama
pengarang menegaskan betapa pentingnya peran istri dalam kehidupan sehari-hari.
Pada bait berikutnya
mengisyaratkan perbandingan istri dengan hal-hal yang ada dalam kehidupan
sehari-hari yang dalm perannya juga kita sangat tergantung pada hal-hal
tersebut.
Penegasan selanjutnya
pada bait ketiga yang menjelaskan peran seorang istri, betapa tulus ikhlasnya
seorang istri dalam melayani suaminya tanpa meminta imbalan, seperti sawah yang
tak pernah mengeluh walau kita cangkul setiap malam.
Pada bait terakhir
dijelaskan karena begitu besar dan tulusnya seorang istri dalam melayani
suaminya, maka selayaknyalah sebagai suami untuk menghormati istri seperti kita
menghormati Dewi Sri (Dewi Pembagi Rizki)
Strata
Ketiga
Objek-objek yang dikemukakan puisi di atas adalah : Istri,
Sawah, Kita, Palawija, Ayam, Itik, Kambing, Jagung, Subadra, Arimbi, Sawitri
dan Dewi Sri
Sebagai Pelaku atau
tokoh adalah si kita.
Latar waktu dalam puisi
di atas tidak disebutkan secara implisit, waktu malam, waktu kondangan hanya
sebagai contoh waktu yang disampaikan pada puisi diatas.
Latar tempatnya adalah
di rumah, dan di sawah.
Dunia pengarang adalah
ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini
merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar,
pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut.
Kita yang dimaksud
penulis adalah si penulis itu sendiri sebagai figure seorang suami yang
mempunyai istri dan pembaca yang dianggap sebagai suami juga. Penulis ingin
menyampaikan betapa pentinnya peran seorang istri dalam kehidupan sehari-hari.
Strata
Keempat
Strata
"dunia" yang tak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit, tampak
sebagai berikut.
Dipandang dari sudut
pandang tertentu kekasih si aku itu menarik, kelihatan dari kata-kata: gadis
manis (bait pertama). Pada bait kedua, baris kesatu dan kedua menyatakan
suasana yang menyenangkan dan si aku penuh kegembiraan berlayar di laut yang
terang pada waktu terang bulan. Baris keempat menyatakan kegelisahan si aku
yang merasa bahwa usahanya sia-sia.
Bait ketiga, baris
ke-1, 2 menyatakan segalanya berjalan dengan baik, perahu berlayar dengan laju.
Baris ke-3, 4 menyatakan si aku telah dihadang kematiannya.
Bait keempat dan kelima
menyatakan kegagalan si aku untuk mencapai gadisnya (cita-citanya) meskipun
segala daya upaya telah dilakukan (sudah bertahun-tahun ditempuh dan perahu pun
hampir hancur: kan merapuh). Sebelum mencapai cita-citanya (gadisnya) si aku
sudah mati.
Strata
kelima
Strata kelima adalah strata
metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini strata itu
berupa ketragisan hidup manusia; yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan,
disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya telah berjalan dengan lancar,
tetapi (sering kali) manusia tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya
(yang dicita-citakannya) karena maut telah lebih dahulu menghadang. Dengan
demikian, cita-cita yang hebat, menggairahkan, akan sia-sia saja.
Analisis strata norma
Roman Ingarden itu dapat dikatakan hanya analisis puisi secara formal saja,
menganalisis fenomena-fenomena saja. Roman Ingarden tidak mengemukakan nilai
seni puisi yang dianalisis. Dengan hal yang demikian ini, analisis Roman
Ingarden ini dikritik Rene Wellek (1968:156) bahwa analisisnya yang maju itu
menjadi berkurang nilainya karena tidak dihubungkan dengan penilaian. Hal ini
disebabkan bahwa puisi itu merupakan karya imajinatif bermedium bahasa yang
unsur seni (estetik)-nya dominan (Wellek, 1968:25). Orang tak dapat memahami
dan menganalisis karya seni tanpa menunjukkan penilaian. Analisis yang tanpa
menghubungkan dengan penilaian ini merupakan kesalahan analisis fenomenologis,
begitu kata Wellek (1968:156).
Analisis strata norma
dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada.
Dengan demikian, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas.
Namun, analisis yang hanya memecah-mecah demikian, dapat berakibat mengosongkan
makna karya sastra (T.S. Eliot via Sansom, 1960:155). Karena itu, analisis
strata norma harus ditingkatkan ke analisis semiotik, karya sastra sebagai
sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur) karya sastra itu
mempunyai makna (arti). Di samping itu, juga analisis ditingkatkan kepada
fungsi estetik setiap fenomena atau unsur-unsur karya sastra.
Dengan analisis strata
norma dan semiotik itu, maka karya sastra (puisi) akan dapat didapatkan makna
sepenuhnya dan dapat dipahami sebagai karya seni yang bernilai puitis
(estetis), yaitu dengan mengingat fungsi estetik setiap fenomena atau unsur-unsur
karya sastra (puisi).
Lebih lanjut analisis
strata norma yang dihubungkan dengan semiotik dan fungsi estetik itu sebagai
yang berikut.
Bunyi
Orkestrasi bunyi: efoni
dan kakofoni; kombinasi vokal dan
konsonan tertentu: aliterasi dan
asonansi.
Simbol bunyi:
onomatope, kiasan suara, lambang rasa.
Sajak: awal, tengah,
dalam, dan akhir.
Termasuk pembicaraan
bunyi juga adalah irama: metrum dan
ritme.
Kata
Pembicaraan kata
meliputi: kosa kata, unsur atau aspek ketatabahasaan; masalah denotatif dan konotatif;
pilihan kata (diksi); bahasa kiasan; citraan; sarana retorika; dan gaya
kalimat, serta gaya sajak.
No comments:
Post a Comment