Saturday 23 February 2013

Analisis puisi "Istri""

ISTERI
--isteri mesti digemateni
Ia sumber berkah dan rejeki.
(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)

Isteri sangat penting untuk ngurus kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
mengirim rantang ke sawah
dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita

Ia sisishan kita,
                   kalau kita pergi kondangan
Ia tetimbangan kita,
                    kalau kita mau jual palawija
Ia teman belakang kita,
                    kalau kita lapar dan mau makan
Ia sigaraning nyawa kita,
                     kalau kita
Ia sakti kita!
                 Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama penting dengan
kerbau, luku, sawah, dan pohon kelapa.
Ia kita cangkul malam hari dan tak pernah ngeluh walau cape
Ia selalu rapih menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa
Sukur: tahu terimakasih dan meninggikan harkat kita sebagai
lelaki. Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan bersungguh-
sungguh seperti kita memelihara ayam, itik, kambing atau
jagung.
Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
melupakannya:
             Seperti lidah ia di mulut kita
                                                           tak terasa
             Seperti jantung ia di dada kita
                                                              tak teraba
Ya. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
melupakannya.
Jadi waspadalah!
Tetap, madep, manteb
Gemati, nastiti, ngati-ati
Supaya kita mandiri—perkasa dan pinter ngatur hidup
Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel atau lurah
Seperti Subadra bagi Arjuna
makin jelita ia di antara maru-marunya:
Seperti Arimbi bagi Bima
jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka;
Seperti Sawitri bagi Setyawan
Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka.

Ah.Ah.Ah
Alangkah pentingnya isteri ketika kita mulai melupakannya.

Hormatilah isterimu
Seperti kau menghormati Dewi Sri
Sumber hidupmu.
Makanlah
Karena memang demikianlah suratannya!
--Towikromo.
Analisis Puisi “Istri” karya Darmanto Jt, melalui strata norma Roman Ingarden..
Strata Bunyi (sound stratum)
Dalam puisi, pembicaraan strata bunyi (sound stratum) haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapat­kan efek puitis atau nilai seni. Misalnya dalam bait kedua ada asonansi i , u, dan a,
Ia sisishan kita,
                   kalau kita pergi kondangan
Ia tetimbangan kita,
                    kalau kita mau jual palawija
Ia teman belakang kita,
                    kalau kita lapar dan mau makan
Ia sigaraning nyawa kita,
                     kalau kita
Ia sakti kita!

Begitu juga dalam bait kedua ada asonansi i yang berturut-turut : Gemati, nastiti, ngati-ati. Pada bait ketiga terdapar asonansi a, dan i serta aliterasi m dan h:
Ia kita cangkul malam hari dan tak pernah ngeluh walau cape
Ia selalu rapih menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa
Sukur: tahu terimakasih dan meninggikan harkat kita sebagai
lelaki. Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan bersungguh-
sungguh seperti kita memelihara ayam, itik, kambing atau jagung
Pada umumnya dalam sajak itu bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal bersuara berat a, dan vocal sedang i seperti kelihatan dalam bait ketiga.

Strata Arti (units of meaning)
Pada bait pertama pengarang menegaskan betapa pentingnya peran istri dalam kehidupan sehari-hari.
Pada bait berikutnya mengisyaratkan perbandingan istri dengan hal-hal yang ada dalam kehidupan sehari-hari yang dalm perannya juga kita sangat tergantung pada hal-hal tersebut.
Penegasan selanjutnya pada bait ketiga yang menjelaskan peran seorang istri, betapa tulus ikhlasnya seorang istri dalam melayani suaminya tanpa meminta imbalan, seperti sawah yang tak pernah mengeluh walau kita cangkul setiap malam.
Pada bait terakhir dijelaskan karena begitu besar dan tulusnya seorang istri dalam melayani suaminya, maka selayaknyalah sebagai suami untuk menghormati istri seperti kita menghormati Dewi Sri (Dewi Pembagi Rizki)

Strata Ketiga
Objek-objek  yang dikemukakan puisi di atas adalah : Istri, Sawah, Kita, Palawija, Ayam, Itik, Kambing, Jagung, Subadra, Arimbi, Sawitri dan Dewi Sri
Sebagai Pelaku atau tokoh adalah      si kita.
Latar waktu dalam puisi di atas tidak disebutkan secara implisit, waktu malam, waktu kondangan hanya sebagai contoh waktu yang disampaikan pada puisi diatas.
Latar tempatnya adalah di rumah, dan di sawah.
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut.
Kita yang dimaksud penulis adalah si penulis itu sendiri sebagai figure seorang suami yang mempunyai istri dan pembaca yang dianggap sebagai suami juga. Penulis ingin menyampaikan betapa pentinnya peran seorang istri dalam kehidupan sehari-hari.
Strata Keempat
Strata "dunia" yang tak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit, tampak sebagai berikut.
Dipandang dari sudut pandang tertentu kekasih si aku itu menarik, kelihatan dari kata-kata: gadis manis (bait pertama). Pada bait kedua, baris kesatu dan kedua menyatakan suasana yang menyenangkan dan si aku penuh kegembiraan berlayar di laut yang terang pada waktu terang bulan. Baris keempat menyatakan kegelisah­an si aku yang merasa bahwa usahanya sia-sia.
Bait ketiga, baris ke-1, 2 menyatakan segalanya berjalan dengan baik, perahu berlayar dengan laju. Baris ke-3, 4 menyatakan si aku telah dihadang kematiannya.
Bait keempat dan kelima menyatakan kegagalan si aku untuk mencapai gadisnya (cita-citanya) meskipun segala daya upaya telah dilakukan (sudah bertahun-tahun ditempuh dan perahu pun hampir hancur: kan merapuh). Sebelum mencapai cita-citanya (gadisnya) si aku sudah mati.

Strata kelima
Strata kelima adalah strata metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini strata itu berupa ketragisan hidup manusia; yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan, disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya telah berjalan dengan lancar, tetapi (sering kali) manusia tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya (yang dicita-citakannya) karena maut telah lebih dahulu menghadang. Dengan demikian, cita-cita yang hebat, menggairahkan, akan sia-sia saja.
Analisis strata norma Roman Ingarden itu dapat dikatakan hanya analisis puisi secara formal saja, menganalisis fenomena-fenomena saja. Roman Ingarden tidak mengemukakan nilai seni puisi yang dianalisis. Dengan hal yang demikian ini, analisis Roman Ingarden ini dikritik Rene Wellek (1968:156) bahwa analisisnya yang maju itu menjadi berkurang nilainya karena tidak dihubungkan dengan penilaian. Hal ini disebabkan bahwa puisi itu merupakan karya imajinatif bermedium bahasa yang unsur seni (estetik)-nya dominan (Wellek, 1968:25). Orang tak dapat memahami dan menganalisis karya seni tanpa menunjukkan penilaian. Analisis yang tanpa menghubung­kan dengan penilaian ini merupakan kesalahan analisis fenomenologis, begitu kata Wellek (1968:156).
Analisis strata norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada. Dengan demikian, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas. Namun, analisis yang hanya memecah-mecah demikian, dapat berakibat mengosongkan makna karya sastra (T.S. Eliot via Sansom, 1960:155). Karena itu, analisis strata norma harus ditingkatkan ke analisis semiotik, karya sastra sebagai sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur) karya sastra itu mempunyai makna (arti). Di samping itu, juga analisis ditingkatkan kepada fungsi estetik setiap feno­mena atau unsur-unsur karya sastra.
Dengan analisis strata norma dan semiotik itu, maka karya sastra (puisi) akan dapat didapatkan makna sepenuhnya dan dapat dipahami sebagai karya seni yang bernilai puitis (estetis), yaitu dengan mengingat fungsi estetik setiap fenomena atau unsur-unsur karya sastra (puisi).
Lebih lanjut analisis strata norma yang dihubungkan dengan semiotik dan fungsi estetik itu sebagai yang berikut.

Bunyi
Orkestrasi bunyi: efoni dan kakofoni; kombinasi vokal dan
konsonan tertentu: aliterasi dan asonansi.
Simbol bunyi: onomatope, kiasan suara, lambang rasa.
Sajak: awal, tengah, dalam, dan akhir.
Termasuk pembicaraan bunyi juga adalah irama: metrum dan
ritme.

Kata
Pembicaraan kata meliputi: kosa kata, unsur atau aspek ketatabahasaan; masalah denotatif dan konotatif; pilihan kata (diksi); bahasa kiasan; citraan; sarana retorika; dan gaya kalimat, serta gaya sajak.



No comments:

Post a Comment