Struktur fisik puisi adalah medium untuk
mengungkapkan makna yang hendak disampaikan oleh penyair.
Makna dari puisi
inilah yang disebut dengan hakikat puisi.
Ada 4(empat) unsur
hakikat puisi; (1) tema (sense), (2) perasaan penyair (feeling), (3) nada dan
suasana (tone), (4) amanat (intention).
Ke empat unsur
tersebut menyatu dalam wujud penyampaian/pengucapan bahasa penyair.
1). Tema adalah
gagasan pokok/subject matter. Gagasan
pokok yang begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan
utama (dasar) pengucapannya.
Dengan latar
belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberikan
tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi. Tema puisi harus dihubungkan dengan
penyairnya, dengan konsep-konsep yang terimajinasikan. Karena tema puisi memang
bersifat khusus (penyair), tetapi objektif (bagi semua penafsir), dan lugas
(tidak dibuat-buat).
Contoh tema :
Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan/patriotism, kedaulatan rakyat, keadilan
social, dstnya.
2). Feeling adalah
suasana perasaan penyair yang bisa dihayati oleh pembaca.
Tema yang sama akan
menghasilkan puisi yang berbeda karena perbedaan perasaan penyair terhadap
objek tertentu (benci, cinta, simpati, antipati, dsb.
3). Nada adalah
sikap tertentu dari penyair terhadap pembaca. (menyindir, menggurui, mengejek,
menasihati, lugas, dsb). Sedangkan suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah
membaca puisi.
4). Amanat (pesan)
hanya dapat ditelaah setelah kita memahami tema, feeling, dan nada puisi.
Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Kalau
tema berhubungan dengan arti karya sastra (lugas, objektif, khusus),
maka amanat berhubungan dengan makna karya sastra (kias, subjektif,
umum).
A.
HAKIKAT PUISI
Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak
disampaikan penyair I.A. Richards menyebut makna atau struktur batin itu
dengan istilah hakikat puisi (1976:180-181). Ada empat unsur hakikat puisi,
yakni: tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair
terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention). Keempat unsur itu menyatu
dalam ujud penyampaian bahasa penyair.
1.
Tema
Tema merupakan gagasan pokok atau subject-matter yang dikemukakan oleh
penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa
penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat
itu berupa hubungan antara penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema
ketuhanan. Jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan,
maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untuk memprotes
ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Perasaan
cinta atau patah hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta atau tema
kedukaan hati karena cinta.
Dengan latar belakang pengetahuan yang sama,
penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah
puisi, karena tema puisi bersifat lugas, obyektif, dan khusus. Tema puisi harus
dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan.
Oleh sebab itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua penafsir),
dan lugas (tidak dibuat-buat). Berikut ini dipaparkan macam-macam tema puisi
sesuai dengan Pancasila.
a. Tema
Ketuhanan. Dalam contoh di depan telah dikemukakan beberapa puisi dengan
tema Ketuhanan. Puisi-puisi dengan tema Ketuhanan biasanya akan menunjukkan
"religious experience" atau pengalaman religi penyair. Pengalaman
religi, didasarkan atas tingkat kedalaman pengalaman Ketuhanan seseorang. Dapat
juga dijelaskan sebagai tingkat kedalaman iman seseorang terhadap agamanya atau
lebih luas terhadap Tuhan atau kekuasaan gaib. Banyak puisi yang menunjukkan
pengalaman religi yang cukup dalam meskipun tidak menunjukkan identitas agama
tertentu. Dalam suasana demikian, penyair bicara mewakili semua manusia,
mengatasi perbedaan agama, bangsa, suku, atau warna kulit. Memang puisi
bersifat universal. Sifat Ketuhanan seorang penyair, dapat diresapi oleh
pembaca mana pun juga.
Pengalaman religi seorang penyair didasarkan atas
pengalaman hidup penyair secara konkret. Jika penyairnya bukan seorang
religius yang khusyuk dalam hal religi, maka sulit diharapkan ia akan
menghasilkan puisi bertema Ketuhanan yang cukup mendalam. Bahkan sebaliknya,
jika penyair itu orang yang ragu-ragu akan Tuhan, ragu-ragu akan kekuasaan
gaib, mungkin puisinya akan bersifat mempermain-mainkan Tuhan karena penggunaan
nama Tuhan secara tidak terhormat. Ada pula penyair yang menempatkan
tokoh-tokoh agama yang terhormat dalam tempat yang kurang terhormat. Hal ini
disebabkan sang penyair pengalaman religinya kurang dalam.
Dalam setiap agama terdapat tokoh-tokoh yang
dihormati karena memiliki karisma, memiliki sifat sakral dan khidmat.
Penghormatan kepada tokoh agama tertentu oleh seorang penyair yang memeluk
agama tersebut juga dapat menunjukkan tingkat penghayatan keagamaan dari
penyair itu. Sebaliknya, .(ika seorang penyair dari suatu agama tertentu mulai
mencaci maki tokoh-tokoh yang dipandang terhormat dalam agama itu, itu suatu pertanda
bahwa penyair tersebut mengalami pendangkalan iman terhadap agamanya.
Betapa dalam rasa Ketuhanan Amir Hamzah dalam
sajak di bawah ini
Doa
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita,
kekasihku ?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama
meningkat naik, setelah menghalaukan panas
payah terik.
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan,
melambung rasa menayangpikir, membawa angan ke
bawah kursimu.
Hariku terang menerima katamu, bagai bintang
memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap
malam menyirak kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu,
penuhi dadaku dengan cayamu, biar bersinar
mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Amir Hamzah, Nyanyi
Sunyi
Kedalaman rasa Ketuhanan itu tidak lepas dari
bentuk fisik yang terlahir dalam pemilihan kata, ungkapan, lambang, kiasan,
dan sebagainya yang menunjukkan betapa erat hubungan antara penyair dengan
Tuhan. Juga menunjukkan bagaimana penyair ingin agar Tuhan mengisi seluruh
kalbunya. Betapa sungguh-sungguh sang penyair menyerahkan diri secara total,
dapat kita rasakan secara nyata dalam sajak ini.
Rendra dalam puisi-puisinya sekitar tahun 1967
menunjukkan krisis iman Kristiani. Hal itu dibuktikan dengan menempatkan pastor
dan pejabat gereja yang seharusnya mendapat penghormatan, pada tempat yang
kurang terhormat, bahkan kadang-kadang dilukiskan sebagai orang yang tidak bijaksana
dan konyol. Hal ini dapat dibaca dalam "Nyanyian Angsa" dan
"Khotbah".
Nyanyian Angsa
...........................
Jam satu siang
Matahari masih di puncak
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
Lumer di bawah kakinya
la berjalan menuju gereja
Pintu gereja telah dikunci
Karena kawatir akan pencuri
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu
Koster keluar dan berkata: "Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang. Dan ini bukan jam bicara.
" 'maaf. Saya sakit. Ini perlu. "
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau. Lalu
berkata:
"Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu. "
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan cerutu, lalu bertanya:
"Kamuperlu apa?"
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa."
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdoa. "
“ Saya mau mati. "
"Kamu sakit?"
"Ya. Saya kena rajasinga.:'
Mendengar ini pastor mundur dua tindak
Mukanya mungkret
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“apa kamu -mm -Kupu-kupu malam?"
“Saya pelacur. Ya. "
“ Santu Petrus! Tapi kamu Katolik!"
"Ya. "
"Santu Petrus!"
Tiga detik tanpa suara
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa."
"Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja. "
"Santu Petrus!"
“Santu Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal-usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya. "
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding muka Maria Zaitun.
"Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tidah perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa. "
("Nyanyian Angsa". dalam Blues Untuk
Bonnie, 1967)
Dalam agama Katolik, seorang pastor adalah
gembala umat dan pemimpin umat yang dihormati. Jika seseorang Katolik
menggambarkan pastor dalam kedudukan seperti tersebut, di atas, hal ini
menunjukkan adanya krisis iman dalam diri orang tersebut. Dan hal ini kiranya
memang dibuktikan oleh Rendra. Beberapa tahun setelah penulisan sajak-sajak
yang menunjukkan krisis iman Kristiani itu, Rendra menyatakan keluar dari
gereja Katolik.
Sajak Rendra di atas dapat juga dipandang sebagai
kritik sosial. Namun tema keagamaan kiranya lebih dominan. Pembaca yang
menyelami sajak tersebut di atas akan segera menghayati kritik keagamaan yang
diberikan oleh penyair. Diharapkan agar pembaca tidak terseret ke dalam gagasan
penyair yang menempatkan pastor dalam kedudukan konyol semacam itu. Hal itu
tidak terjadi jika pembaca memiliki iman yang cukup dalam.
Sikap Ketuhanan yang ditunjukkan Rendra itu
kiranya memiliki kemiripan dengan sikap Chairil Anwar dalam sajaknya yang berjudul
"'Sorga". Iman penyair yang kurang mendalarn hendaknya dipahami
pembaca, sehingga pembaca tidak menganggap bahwa kebenaran yang diungkapkan
penyair adalah kebenaran yang harus diterima oleh pembaca
Sorga
Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu.
Tapi ada suara menimbang dalam diriku
nekad mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatahan pasti
di situ memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya
Yati?
(Chairil Anwar, 1947)
Sajak di atas lain sekali dengan sajak
"Doa" yang pernah dikutip di depan. Kedalaman iman seperti dalam
"Doa" tidak kita dapati dalam "Sorga". Demikian pula sajak
Rendra "Nyanyian Angsa" nampak bahwa nafas ketuhanannya lain dengan
"Ballada Penyaliban" yang dikarang lebih kurang 10 tahun sebelumnya,
ketika iman Kristianinya masih dalam. Puncak penghayatan iman Kristiani adalah
pada Kristus yang wafat di kayu salib. Dalam sajak "Ballada
Penyaliban" Rendra dapat mengekspresikan perasaan religius seorang Kristen
melalui lukisan keharuan jiwanya membayangkan kisah penyaliban tersebut.
Ballada Penyaliban
Yesus berjalan ke Golgota
disandangnya salib kayu
bagai domba kapas putih
Tiada mawar-mawar di jalanan
tiada daun-daun palma
domba putih menyeret azab dan dera
merunduk oleh togas teramat dicinta
dan ditanam atas maunya.
Mentari meteleh
segala menetes dari luka
dan leluhur kita Ibrahim
berlutut, dua tangan pada Bapa:
---Bapa kami di Sorga
telah terbantai domba paling putih
atas altar paling agung
Bapa kami di sorga
berilah kami bianglala!
la melangkah ke Golgoga
jantung berwarna paling agung
mengunyah dosa demi dosa
dikunyahnya dan betapa getirnya.
Tiada jubah terbentang di jalanan
bunda menangis dengan rambut pada debu
dan menangis pula segala perempuan kota.
---Perempuan !
mengapa kau tangisi diriku
dan tiada kau tangisi dirimu?
Air mawar merah dari tubuhnya
menyiram jalanan kering
jalanan liang-liang jiwa yang papa
dan pembantaian berlangsung
atas taruhan dosa.
Akan diminumnya dari tuwung kencana
anggur darah tambungnya sendiri
dan pada tarikan napas terakhir bertuba
---Bapa, selesailah semua !
(W.S. Rendra, BalladaOrang-orang Tercinta, 1961)
Di dalam sajak "Ballada Penyaliban"
tersebut di atas, Rendra berhasil mengungkapkan keharuan yang muncul oleh
derita Kristus. Derita itu timbul karena dosa-dosa manusia. Puisi yang memiliki
kedalaman nilai religi seperti ini dapat memperdalam rasa Ketuhanan pembaca.
Namun, puisi-puisi seperti "Sorga" dan "Nyanyian Angsa"
juga dapat dijadikan karena untuk memberikan alternatif lain dalam pikiran
pembaca, sehingga sikap beragama pembaca tidak beku.
b. Tema
Kemanusiaan. Tema kemanusiaan bermaksud menunjukkan betapa tingginya
martabat manusia dan bermaksud meyakinkan pembaca bahwa setiap manusia memiliki
harkat (martabat) yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat, dan kedudukan
seseorang, tidak boleh menjadi sebab adanya pembedaan perlakuan terhadap
kemanusiaan seseorang. Para penyair memiliki kepekaan perasaan yang begitu
dalam untuk memperjuangkan tema kemanusiaan. Akan dikutip sajak Toto Sudarto
Bachtiar yang membela martabat kemanusiaan gadis peminta-minta yang dalam sajak
itu disebut gadis kecil berkaleng kecil.
Gadis Peminta-minta
Setiap kita bertemu, gadis kecil
berkaleng kecil Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang tanpa jiwa.
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang.
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu
kauhafal
Jiwa begitei murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku.
Kalau kau mati gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagl punya tanda.
Toto Sudarto Bachtiar, Suara
Jika kebanyakan pembaca menganggap bahwa pengemis
kecil yang minta-minta di pinggir jalan sebagai sampah masyarakat, sebagai
manusia yang tidak berharga, maka penyair mengatakan dengan tegas bahwa
martabat kemanusiaan gadis peminta-minta itu sama derajatnya dengan martabat
manusia semua orang lainnya. Martabatnya lebih tinggi dari menara katedral.
Bahkan jika gadis kecil itu mati, kota Jakarta akan kehilangan jiwa sebab
dunianya tidak mempunyai tanda lagi.
Rendra - karena sajak-sajaknya yang membela
martabat kemanusiaan bagi orang-orang tersingkir seperti: pelacur, perampok,
pembunuh, wanita yang kesepian, orang gila dan sebagainya - dinyatakan oleh A,
Teeuw sebagai nabi perikemanusiaan selama 25 tahun terakhir di Indonesia
(Teeuw: 1975). Karena sikapnya yang gigih dalam membela kaum tersingkir, orangorang
terhormat yang harusnya mendapatkan tempat sebagai tokoh yang baik, oleh Rendra
ditempatkan pada posisi yang tidak menyenangkan. Karena kegigihannya dalam
menegakkan harkat kemanusiaan orang-orang tersisih ini, maka orang-orang
tersisih oleh Rendra dinyatakan sebagai "Orang-orang
Tercinta",(Ballada Orang-orang Tercinta).
Manusia awam biasanya terlelap dalam kerutinan
hidup sehingga lupa memikirkan nasib orang lain. Mereka lupa memikirkan harkat
dan martabat orang-orang yang dikategorikan sampah masyarakat yang biasanya dipalingkan
dari kehidupan "normal". Rendra yakin bahwa penderitaan "orang-orang
tercinta" itu tidak disebabkan kesalahan mereka semata. Mungkin sejarah
dan manusia "normal" ikut andil dalam menciptakan penderitaan
orang-orang tersisih itu. Dengan sajak demikian, pembaca akan merefleksi diri,
mengintrospeksi dirinya sendiri, dan jika dapat ikut mengangkat harkat dan
martabat mereka. Paling tidak pembaca diharap menghargai mereka itu sebagai
manusia yang di mata Tuhan bermartabat sama dengan manusia-manusia lainnya.
Sajak Rendra "Bersatulah Pelacur-pelacur
Kota Jakarta" meneriakkan pembelaan Rendra terhadap para pelacur yang
dikejar-kejar seperti binatang. Padahal kemanusiaan mereka sedikit pun tidak
kurang dari kemanusiaan dari manusia lainnya.
Bersatulah Pelacur-pelacur
Kota Jakarta
Pelacur-pelacur kota Jakarta
dari kelas tinggi dan kelas rendah
telah diganyang
telah diharu-biru
Mereka kecut
keder
terhina dan tersipu-sipu
Sesalkan mana yang musti kausesalkan,
Tapi jangan kau klewat putus asa.
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban.
Wahai, pelacur-pelacur kota Jakarta.
Sekarang bangkitlah.
Sanggul kembali rambutmu.
Kerna setelah menyesal
datanglah kini giliranmu
bukan untuk membela diri melulu
tapi untuk melancarkai serangan
Kerna:
Sesalkan mana yang mesti kausesalkan
tapi jangan kau rela dibikin korban,
...........................
Politisi dan pegawai tinggi
adalah caluk yang rapi.
Konggres-konggres dan konperensi
tak pernah berjaIan tanpa kalian.
Kalian tak pernah bisa bilang "tidak"
lantaran kelaparan yang menakutkan
kemiskinan yang mengekang
dan telah lama sia-sia cari kerja.
Ijazah sekolah tanpa guna
Para kepala jawatan
akan membuka kesempatan
kalau kau membuka paha.
Sedang di luar pemerintahan
Perusahaan-perusahaan macet
lapangan kerja tak ada ....
Revolusi para pemimpin
adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk sorga
dan tidak untuk bumi.
Reuolusi dewa-dewa
tak pernah menghasilkan
lebih banyak lapangan kerja
bagi rakyatnya.
Kalian adalah sebagian penganggur
yang mereka ciptakan.
Namun
sesalkan mana yang mesti kausesalkan
tapi jangan kau klewat putus asa
dan kau rela dibikin korban.
......................
Saudari-saudariku. Bersatulah.
Ambillah galah.
Kibarkan kutang-kutangmu di ujungnya
Araklah keliling kota
sebagai panji-panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut.
Katakanlah kepada mereka:
Menganjurkan mengganyang pelacuran
tanpa menganjurkan
mengawini para bekas pelacur
adalah omong kosong
Pelacur-pelacur kota Jakarta.
Saudari-saudariku.
Jangan melulu keder pada lelaki.
Dengan mudah
kalian bisa telanjangi kaum palsu.
Naikkan taripmu dua kali
dan mereka akan klabakan:
Mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berjina
dengan istri saudaranya.
Blues
Untuk Bonnie, 1967
Rasa kemanusiaan juga dapat menunjukkan tema
cinta, belas kasih, nasihat seorang ayah kepada anaknya, penghormatan seorang
murid kepada gurunya, perjuangan hak-hak azasi manusia, perjuangan, dan
sebagainya.
c. Tema
patriotisme/kebangsaan. Tema patriotisme dapat meningkatkan perasaan cinta
akan bangsa dan tanah air. Banyak puisi yang melukiskan perjuangan merebut
kemerdekaan dan mengisahkan riwayat pahlawan yang berjuang melawan penjajah.
Tema patriot juga dapat diujudkan dalam bentuk usaha penyair untuk membina
kesatuan bangsa atau membina rasa kenasionalan.
Sajak Chairil Anwar yang berjudul
"Krawang-Bekasi" dan "Diponegoro" merupakan sajak yang
memiliki tema patriotisme. Jika puisi tersebut dibaca, akan meningkatkan sifat
patriotik pembacanya.
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti.
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju
Serbu
Serang
Terjang.
Chairil
Anwar, 1943
Perjuangan Pangeran Diponegoro dalam usaha
mengusir penjajah dan memerdekakan bangsa kita, dapat menumbuhkan patriotisme
dalam diri pembaca. Martabat dan harga diri sebagai bangsa dapat kita
tingkatkan jika kita mengenang kepahlawanan Pangeran Diponegoro. Sajak Taufiq
Ismail yang berjudul "Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini" juga
meningkatkan kesadaran nasional pembacanya. Pembaca berusaha agar dirinya tidak
menjadi penonton pembangunan. Sebab penyair memberi nasihat mengatakan bahwa
kita semua adalah pemilik sah republik ini.
Kita adalah Pemilik Sah
Republik ini.
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur.
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran:
“Duli Tuanku "?
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata kuyu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara.
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus.
Taufiq
Ismail, Tirani, 1966
Dari kisah-kisah demonstrasi 1966, dapat kita
jumpai banyak sajak-sajak yang bertema patriotik. Dari pengungkapan kisah
perjuangan bersejarah itu, pembaca akan merasakan getaran patriotisme dan
perjuangan tanpa pamrih untuk menumbangkan kekuasaan Orde Lama, dan selanjutnya
menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi Indonesia.
Rasa patriotisme juga dapat muncul pada tema
cinta bangsa dan tanah air. Puisi-puisi yang menunjukkan kecintaan penyair
terhadap tanah kelahirannya juga dapat diklasifikasikan sebagai puisi yang
memiliki tema kecintaan terhadap tanah air atau patriotisme. Sebagai contoh:
"Madura", "Sarangan", "Tawangmangu" (Abdul Hadi
W.M.), "Sumba" (Taufiq Ismail), "Romance Perjalanan"
(Kirjomulyo), "Priangan Si Jelita" (Ramadhan K.H.), "Ibukota
Senja" (Toto Sudarto Bachtiar), "Candi Mendut", "Teratai"
(Sanusi Pane), dan sebagainya.
d. Tema
kedaulatan rakyat. Penyair begitu sensitif perasaannya untuk memperjuangkan
kedaulatan rakyat dan menentang sikap kesewenang-wenangan pihak yang berkuasa.
Tema kedaulatan rakyat dan tema keadilan sosial biasanya kita dapati pada puisi
protes. Dalam puisi yang bertema kedaulatan rakyat, yang kuat adalah protes
terhadap kesewenang-wenangan pihak yang berkuasa yang tidak mendengarkan
jeritan rakyat atau dapat juga berupa kritik terhadap sikap otoriter penguasa.
Sedangkan dalam puisi yang bertema keadilan sosial, yang ditonjolkan adalah
kepincangan sosial. Dengan menonjolkan kepincangan sosial, penyair berharap
agar orang yang kaya ingat kepada para penderita. Penyair berharap agar orang
yang berkuasa memikirkan nasib si miskin. Dan diharapkan penyair agar kita
semua tidak hanya mengejar kekayaan pribadi, namun juga mengusahakan kesejahteraan
bersama.
Sajak "Kemis Pagi" karya Taufiq Ismail
di bawah ini merupakan contoh sajak yang bertema kedaulatan rakyat.
Kesewenang-wenangan tirani dikecam habis-habisan di sini.
Kemis Pagi
Hari ini kita tangkap tangan-tangan kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan meterai kerajaan
Dengan suara lantang memperatasnamakan
Kawula dukana yang berpuluh juga.
Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung di tiang Keadilan
Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya.
Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Membeli benda-benda tanpa harga di manca negara
Dan memperoleh uang emas beralus juta
Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negri
Merekalah penganjur jina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita.
Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Kebanyakan anak-anak muda berumur belasan
Yang berangkat dari rumah, pagi tanpa sarapan
Telah kita naiki gedung-gedung itu
Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya
Seorang ketika digiring, tersedu
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya
Dan berjalan pertahan dengan lemahnya.
Taufiq
Ismail, Tirani, 1966
Kedaulatan rakyat berarti bahwa rakyat mempunyai
suara yang penting dan menentukan. Suara rakyat menentukan kekuasaan.
Pemerintah dan penguasa harus mencerminkan kehendak rakyat. Demikianlah
kira-kira tema puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul "Rakyat"
berikut ini :
Rakyat
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan Wang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batu bara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemari angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka.
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suam beraneka.
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta.
Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
Hartoyo
Andangjaya, 1962
Dalam puisi di atas, dinyatakan betapa pentingnya
rakyat dalam suatu 'negara. Oleh sebab itu, rakyat dengan suaranya dan
kehendaknya, hendaknya selalu dijadikan pedoman langkah dan kebijaksanaan para
pimpinan negara. Pimpinan hendaknya selalu ingat kepada rakyat. Mereka sendiri
pun sebenarnya juga rakyat seperti kita semuanya.
e. Tema
keadilan sosial. Nada protes sosial sebenarnya lebih banyak menyuarakan
tema keadilan sosial daripada tema kedaulatan rakyat. Puisi-puisi demonstrasi
yang terbit sekitar tahun 1966 pada hakekatnya adalah puisi yang lebih banyak
menyuarakan keadilan sosial. Potret
Pembangunan dalam Puisi karya
Rendra adalah kumpulan sajak yang bertemakan keadilan sosial. Yang dilukiskan
dalam tema ini adalah ketidakadilan dalam masyarakat, dengan tujuan untuk
mengetuk nurani pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan.
Sajak "Kemis Pagi" karya Taufiq Ismail
yang telah dikutip di depan juga menyuarakan perjuangan memperoleh keadilan
sosial yang lama diinjak-injak. Dengan melukiskan perjuangan untuk keadilan
sosial ini, Taufiq Ismail ingin agar keadilan sosial diperjuangkan dan
ditegakkan. Puisi Rendra di bawah ini juga melukiskan tiadanya keadilan sosial
dan bertujuan agar keadilan sosial diperjuangkan.
Sajak Burung-burung Kondor
Angin gunung turun merembes ke hutan
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani - buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani buruh bekerja
berumah di gubuk gubuk tanpa jendela
menanam bibit - di tanah yang subur
memanen hasil yang berlimpah dan mahmur,
namun hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjelma menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirimkan kondom.
Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh he kanan,
di dalam usaha tak menentu,
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai
dan suhmanya berubah menjadi burung Kondor.
Beribu-ribu burung kondor
berjuta-juta burung kondor
bergerak menuju gunung tinggi,
dan di sana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.
Burung-burung kondor menjerit
Di dalam marah menjerit
Tersingkir ke tempat-tempat yang sepi.
Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu
mematuki batu-batu, memafuki udara.
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.
Rendra,
1973
Dalam sajak ini diberikan gambaran bahwa rakyat
kecil atau burung kondor hidupnya sengsara. Mereka kerja keras, namun tidak
menerima pembagian hasil secara adil. Sementara itu di kota, orang siap untuk
menembaknya, setelah mereka tahu bahwa si kecil resah. Dalam sajak "Dari Seorang
Guru Kepada Murid-muridnya" dikisahkan tentang penderitaan dan kemiskinan
seorang guru. Tema keadilan sosial bertujuan agar pembaca turut memikirkan
kesejahteraan guru.
Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya
Apakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdian kepadamu.
Kalau di hari minggu engkau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana,
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga.
Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
- - - horison yang
selalu biru bagiku - - -
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua.
Solo,
1955
Demikianlah ulasan tentang tema yang merupakan
pikiran pokok dari penyair dan biasanya dilandasi oleh filsafat hidup penyair.
Banyak tema lain yang dapat dikemukakan penyair. Dalam kaitan ini, penulis
membicarakan tema yang sesuai dengari tujuan pendidikan Nasional. Di samping
kesesuaian dengan tujuan pendidikan, tema yang dipilih untuk pengajaran hendaknya
sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa anak dan lingkungan hidup anak.
Perlu diketahui bahwa tema yang memiliki tingkat
tinggi adalah tema Ketuhanan atau religius karena dengan tema yang demikian
penyair mengajak pembaca merenungkan kekuacaan Tuhan. Dengan merenungkan Tuhan
dan kekuasaannya, manusia akan lebih menyadari keterbatasannya. Dengan jalan
demikian, manusia berusaha menjadi lebih baik dan lebih dekat dengan Tuhan.
Di depan sudah dinyatakan bahwa tema tidak dapat
dilepaskan dari perasaan penyair, nada yang ditimbulkan, dan amanat yang hendak
disampaikan. Uraian tentang tema ini sengaja dibuat panjang lebar dengan
contoh yang cukup banyak karena akan dijadikan titik tolak uraian perasaan,
nada, dan amanat yang hendak disampaikan. Pernyataan batin dalam tema, perasaan,
nada, dan amanat puisi juga tidak dapat dilepaskan dari struktur fisik.
(metode) puisi. Sebab dengan tema yang khas, dibutuhkan bentuk pengucapan
bahasa yang khas pula. Pengungkapan tema yang sama dengan nada dan perasaan
berbeda, akan menuntut pilihan kata, ungkapan, lambang, dan kiasan yang berbeda
pula. Sebab itu, uraiari tentang tema ini akan berkaitan dengan nada, perasaan,
amanat dan juga bentuk fisik (metode) puisi yang akan dibahas pada Bab IV.
2.
Perasaan (Feeling).
Dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair
ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan
tema yang sama, penyair yang satu dengan perasaan yang berbeda dari penyair
lainnya, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula. Dalam menghadapi
tema keadilan sosial atau kemanusiaan, penyair banyak menampilkan kehidupan
pengemis atau orang gelandangan. Perasaan Chairil Anwar berbeda dengan perasaan
Toto Sudarto Bachtiar berbeda pula dengan Rendra dan Arifin C. Noer dalam
menghadapi pengemis. Toto Sudarto Bachtiar menghadapi gadis kecil berkaleng
kecil dengan perasaan iba hati karena rasa belas kasihnya. Penyair bahkan
ingin "ikut gadis kecil berkaleng kecil" itu. Rendra berperasaan
benci dan bersikap memandang rendah para pengemis karena Rendra memandang bahwa
pengemis tidak berusaha keras untuk menopang kehidupannya. Sikap Chairil Anwar
sama dengan sikap Rendra. Mereka tidak memiliki rasa belas kasih kepada para
pengemis.
Dalam puisi-puisi yang kita jadikan contoh di
depan, nampak bahwa perbedaan sikap penyair menyebabkan perbedaan perasaan
penyair menghadapi obyek tertentu. Sikap simpati dan antipati, rasa senang dan
tidak senang, rasa benci, rindu, setiakawan, dan sebagainya dapat kita jumpai
dalam puisi-puisi di atas.
Tema Ketuhanan kita dapati dalam sajak
"Doa" karya Chairil Anwar dan "Padamu Jua" karya Amir
Hamzah. Karena sikap kedua penyair terhadap Tuhan pada saat itu berbeda, maka
perasaan yang dihasilkan juga berbeda. Rasa Ketuhanan dalam "Doa"
penuh kepasrahan dan kekhusyukan. Sedangkan dalam "PadaMu Jua" rasa
Ketuhanan penuh dengan keraguan, penasaran, dan kekecewaan. Demikian juga
perbedaan perasaan Ketuhanan Rendra nampak dalam "Balada Penyaliban"
dan dalam "Nyanyian Angsa". Dalam sajak yang pertama Rendra
menunjukkan rasa khusyuk terhadap agamanya sedangkan dalam sajak kedua Rendra
menunjukkan rasa sangsi terhadap agamanya.
Dalam menghadapi ketidakadilan, perasaan penyair
yang satu berbeda dari penyair lainnya. Dalam Tirani, Benteng (Taufiq
Ismail), puisi-puisi demonstrasi 1966, dan puisi-puisi Rendra (Potret Pembangunan Dalam Puisi ), perasaan
geram terhadap ketidakadilan nampak sekali. Perasaan geram itu ditonjolkan
karena penyair merasa bahwa ketidakadilan sudah begitu merajalela. Perasaan
Taufiq Ismail dan Rendra berbeda dengan perasaan Goenawan Mohamad, Sapardi
Joko Damono, dan Subagio Sastrowardojo. Ketiga penyair ini juga mengemukakan
kritik terhadap ketidak adilan, namun dengan perasaan yang mengendap, sabar,
penuh pertimbangan dan perenungan. Dalam puisi Goenawan Mohamad, Sapardi Joko
Damono, dan Subagio, sekalipun protes sosial yang dikemukakan itu cukup keras,
namun terasa tidak menyakitkan karena disampaikan dengan perasaan sabar dan
penuh pertimbangan. Untuk mengritik industrialisasi yang berpengaruh negatif
terhadap manusia, Goenawan Mohamad menulis sajak ini
Di
Kota itu,
Kata
Orang, Gerimis telah Jadi Logam
Di kota itu, kata orang, gerimis telah jadi logam. Di
bawah
cahaya haripun bercadar, tapi aku tahu kita akan sampai
ke sana
Dan kita bercinta tanpa batuk yang. tersimpan, membiarkan
gumpal darah di gelas itu menghijau. Dan engkau bertanya
mengapa udara berserbuk di antara kita?
Lalu pagi selesai burung lerai dan sisa bulan tertinggal
di luar
di atas cakrawala aspal.
Jika samsu pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu.
Tapi tutupkan matamu, dan bayangkan aku menjemputmu,
mautmu.
Goenawan
Mohamad, 1971
Perasaan penyair yang satu dengan yang lain berbeda-beda
dalam menghadapi pahlawan kemerdekaan. Chairil Anwar dalam puisinya
"Diponegoro" mengagumi pahlawan itu dan ia bermaksud untuk memberi
nasihat kepada pembaca agar kepahlawanan Diponegoro menjadi api pembangunan.
Sanusi Pane juga kagum kepada Ki Hajar Dewantoro, sehingga Ki Hajar diumpamakan
sebagai bunga teratai.
Teratai
Kepada Ki Hajar Dewantara
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tiada terlihat orang yang 1alu.
Akarnya tumbuh di hati dunia,
Daunnya berseri, laksmi mengarang;
Biarpun dia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulia.
Teruslah, o Teratai Bahagia,
Berseri di kebun Indonesia,
Biarkan sedikit penjaga taman,
Biarpun engkau tidak dilihat,
Biarpun engkau tidak diminat,
Engkau turut menjaga jaminan
Sanusi Pane, 1957
Rasa kagum Chairil Anwar terhadap Pangeran Diponegoro
berbekas dengan rasa kagum Sanusi Pane terhada Ki Hajar Dewantara. Perbedaan itu
karena perbedaan dari sikap kedua penyair dan perbedaan nilai dan jenis
kepahlawanan dari keduanya.
Rasa baru yang timbul ketika kita membaca “Gadis
Peminta-minta” karya Toto Sudarto Bachtiar berbeda dengan rasa baru yang timbul
karena pembaca sajak Taufiq Ismail ini :
Karangan
Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
‘Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karanganbunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi!’
Taufiq Ismail, 1966
Perbedaan perasaan baru itu disebabkan karena perbedaan
keterlibatan batin antara Toto dengan Taufiq. Toto begitu dalam melibatkan rasa
harunya terhadap gadis kecil berkaleng kecil, sedangkan Taufiq kurang
melibatkan keharuannya kepada tiga anak kecil yang membawa karangan bunga.
Sajak yang bertema cinta juga mempunyai perasaan yang
bermacam-macam. Dalam sajak ”Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar yang
telah dikutip di depan, kedikaan karena kegagalan cinta itu terasa begitu
mendalam. Perasaan cinta yang begitu bahagia dilukiskan Rendra dalam “Surat
Cinta”, “Surat Kepada Bunda Tentang Calon Mantunya”, “Kakawin kawin”, “Serenada
Hijau”., dan sebagainya. Puisi-puisi cinta Amir Hamzah juga bernada sendu,
karena berisi perasaan sedih yang mendalam. Cobalah kita hayati betapa dalam
perasaan duka Y.E. Tatengkeng oleh kehilangan anaknya :
Anakku
Ya, kekasihku ……….
Engkau datang menghintai hidupku
Engkau datang menunjukkan muka,
Tetapi sekejap matamu kau tutup,
Melihat terang anakda tak suka.
Mulut kecil tiada kau buka
Tangis teriakmu tak diperdengarkan,
Alamat hidup wartakan suka.
Kau diam anakku, kami kautinggalkan.
Sedikit pun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguding,
Air matamu tak bercucuran,
Tinggalkan ibumu tak penghiburan.
Kau diam, diam, kekasihku,
Tak kau katakan barang pesanan,
Akan penghibur duka di dadaku,
Kekasihku, anakku, mengapa kian ?
Sebagai anak melalui sedikit,
Akan rumah kami berdua,
Tak anak tak insaf sakit,
Yang diderita orang tua.
Yang kecil lemah bergantung,
Tak diangkat memeluk ibumu,
Menyapu dadanya, menyapu jantung,
Hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.
Selekas anakda datang,
Selekas anakda pulang,
Tinggalkan ibu sakit terlentang,
Tinggalkan bapa sakit mengenang.
Selamat datang anakda kami,
Selamat jalan kekasih hati.
Anak kami Tuhan berikan,
Anak kami Tuhan panggilkan,
Hati kami Tuhan hiburkan,
Nama Tuhan kami pujikan.
Y.E.
Tatengkeng, 1952
Demikianlah macam-macam perasaan yang dapat kita hayati
dalam berbagai macam puisi dan dalam berbagai macam tema puisi. Perasaan yang diungkapkan
penyair berpengaruh terhadap pemilihan bentuk fisik (metode) puisi.
3.
Nada dan Suasana
Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca,
apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap
lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca
ini disebut nada puisi. Sering kali puisi bernada santai karena penyair
bersikap santai kepada pembaca. Hal ini dapat kita jumpai dalain puisi-puisi
mbeling.
Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka
suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis
yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Jika kita bicara tentang sikap
penyair, maka kita berbicara tentang nada; jika kita berbicara tentang suasana
jiwa pembaca yang timbul setelah membaca puisi, maka kita berbicara tentang
suasana. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi
menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada duka yang diciptakan penyair
dapat menimbulkan suasana iba hati pembaca. Nada kritik yang diberikan penyair
dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan bagi pembaca. Nada religius dapat
menimbulkan suasana khusyuk. Begitu seterusnya.
Berikut ini dikutip puisi dengan nada menyindir yang bersifat
sinis. Namun nada sinis itu bersifat filosofis juga karena merenungkan hakikat
hidup kita. Pembaca harus merenungkan makna puisi ini, agar mampu menghayati
pesan yang hendak disampaikan Subagio Satrowardojo.
Bulan Ruwah
Kubur kita terpisah dengan tembok tinggi
Sebab aku punya Tuhan, dia orang kafir.
Di Yaumulakir
roh kita dari kubur
akan keluar berupa kelelawar
dan berebut menyebut nama Allah
dengan cicit suara kehausan darah.
Kita sudah siap dengan daftar tanya:
Tuhan, ya robilalamin!
adakah kau Islam atau Kristen
apakah kitabmu: kor'an atau injil
apakah bangsamu: seorang rus, cina atau jawa?
Orang rus itu komunis yang menghina nabi dan agama
Orang cina suka makan babi. Itu terang jadi larangan.
orang jawa malas sembahyang, dan gemar pada mistik.
Apakah bahasamu, apakah warna kulitmu, apakah asalmu?
Apahah kau pakai peci dan sarung pelekat
atau telanjang seperti budak habsyi hitam pekat
--atau seperti bintang pilem
berpotret di kamar mandi?
antara tanda kurung: adakah dia punya Tuhan ? –
Daftar tanya kita tandai dengan cakaran hitam
seribu tangan.
Tetapi kalau Tuhan tinggal diam seperti tugu
kita akan bertindak desak keputusan
kita rubuhkan batu bisu
dengan kutuk dan serapah.
Kita kembali bergantung di dahan
dan bermimpi tentang sorga dan Tuhan
yang mirip rupa kita sejak semula:
Kelelawar bercicit kehausan darah. '
' Subagio Sastrowardojo, 1957
Dengan puisi di atas, Subagio mengajak pembaca merenung
tentang Tuhan dan ciptaannya. Kata-katanya tidak dapat kita hayati secara harfiah
karena makna yang diungkapkan bersifat filosofis.
Nada gemas karena usahanya memahami rahasia Tuhan tidak
berhasil kita dapatkan dalam sajak-sajak mutakhir Sutardji Calzoum Bachri. Coba
kita hayati nada sajak ini
O
dukaku dukakau dukarisau dukakatian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragu tahu ragu kalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian sia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisang sai
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O……………………
Sutardji Calzoum Bachri, 1966
Nada main-main dapat kita jumpai pada puisi-puisi
mbeling dan puisi-puisi Yudhistira Ardinugraha. Puisi mbeling karya Remy
Silado di bawah ini, bernada main-main atau santai.
Belajar Menghargai Hak Azasi Kawan
jika
laki mahasiswa
ya perempuan mahasiswi
jika
laki saudara
ya perempuan saudari
jika
laki pemuda
ya perempuan pemudi
jika laki putra
ya perempuan putri
jika taki kawan
ya perempuan kawin
jika
kawan kawin
ya jangan ngintip
Remy
Silado, Aktuil
Yudhistira dalam kumpulan puisinya "Rudi Jalak
Gugat" juga mengungkapkan nada yang hampir sama. Namun dalam puisi Yudhis
ada sedikit
perenungan dan kesungguhan hati.
Bikin Sendiri Saja
Bikin sendiri saja udara mana kau suka
Bikin sendiri saja bumi mana kau suka
Bikin sendiri saja rasa mana kau suka
Bikin sendiri saja logika mana kau suka
Langit telah kehabisan hawa
Tanah telah kehabisan pijak
Jiwa telah kehabisan peka
Benak telah kehabisan jawab
Hidup jadi kerempeng
Tujuan jadi melenceng
Pengembaraan jadi dongeng
Meditasi jadi cengeng.
Jika tak bikin sendiri segala idaman
Jika tak bikin sendiri segala harapan
Jika tak bikin sendiri segala kerjaan
Jika tak bikin sendiri segala makanan
Mimpi bakal kehabisan warna
Nasib bakal kehabisan garis
Tenaga bakal kehabisan makna
Palawija bakal kehabisan akar
Hari jadi duri
Usia jadi sia
Waktu jadi hantu
Kesempatan jadi setan.
Bikin sendiri saja
Kelanjutan segala bayang.
Yudhistira,
1982
Nada revolusioner penuh dengan semangat berkobar dan
hasutan dapat kita temukan dalam sajak-sajak penyair LEKRA yang sangat populer
antara tahun 1962-1965 di Indonesia. Semangat berapi-api revolusioner ini membangkitkan
emosi yang meluap-luap tak terkendali.
Makan Roti Komune
Pergaulan, setiakawan, dan harapan adalah
nasi, adalah roti serta bunga buah
Yang mengisi kehidupan pekerja
Jika bebas
dari kebohongan, penindasan dan penipuan
penjajahan, feodalisme dan banditisme
Pergaulan, setiakawan dan harapan
kujumpai dan kurasakan
dalam komune ini. Oleh karena itu:
Aku ingin minum dari kehangatan
harapan saudara-saudara.
Aku ingin menjabat tangan
saudara-saudara yang sibuk bekerja
Aku ingin makan roti ini,
roti komune sebagai tanda
pulihnya pergaulan, setiakawan dan
harapan antara manusia
buat selama-lamanya dan cinta,
cita-cita dan kenyataan dunia sosialis.
Sitor
Situmorang, Zaman Baru, 1961
Demikianlah nada puisi yang dapat kita hayati melalui
puisi. Dalam nada ini kita hayati sikap penyair yang secara tersifat dapat
ditangkap oleh pembaca. Jadi tidak secara harfiah. Pembaca menghayati suasana
yang ditimbulkan oleh nada puisi. Sebab itu, nada puisi berhubungan erat dengan
suasana.
Nada menasehati dapat kita hayati dalam puisi Asrul Sani
di bawah ini :
Surat dari Ibu
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum hemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.
Jika bayang telah pudar
dan elang lout pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padaku!
Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
"Tentang cinta dan hidupmu pagi hari. "
(1948)
Penyair memberi petuah kepada para pemuda agar menimba
ilmu dan pengalaman seluas dan sedalam mungkin. Anak-anak itu pantang pulang sebelum
sukses. Setelah berhasil, mereka pulang dan mereka akan diterima dengan
keramah-tamahan sambil menceritakan pengalaman masing-masing.
Nada minta belas kasih (memelas) akan kita hayati dalam
puisi Ali Hasjmy di bawah ini. Nada demikian dipergunakan penyair untuk
mensugesti pembaca agar tidak mencontoh tokoh (aku lirik) yang dikisahkan dalam
puisi ini.
Menyesal
Pagiku hilang sudah melayang,
Hari mudaku sudah pergi,
Sekarang petang datang membayang,
Batang usiaku sudah tinggi.
Aku lalai di hari pagi,
Beta lengah di masa muda,
Kini hidup meracun hati,
Miskin ilmu, miskin harta.
Ah, apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna,
Hanya menambah luka sukma.
Kepada yang muda kuharapkan,
Atur barisan di hari pagi,
Menuju ke arah padang bakti.
( Puisi Baru,
1954)
Kegelisahan penyair dapat kita tangkap dari puisi-puisi
perjalanan Slamet Sukirnanto, seperti dalam "Cipanas 1970" ini
Cipanas 1970
Angin sore mengulur tangan
Meraih lembah
Menyeret sepi ketika cintamu
Tiada tumbuh lagi dalam pusaran !
Warna bunga-bunga
Langit dan
Padamu: kuserahkan setangkai
Kegelisahan menyusup ---
tangkai demi tangkai !
Ada bocah mengulur benang layang-layang
Ada lelaki mengulur tambang angan-angan
Ada layang-layang ada angan-angan
Mengatas lewat pucuk pucuk bukit.
(Bunga Batu,
1979)
Kegelisahan yang diungkapkan penyair adalah kegelisahan
seorang lelaki dalam perjalanan. Karenanya, dalam perjalanan ada bunga yang
menerima penyerahan total kegelisahan itu.
Nada pasrah karena merasa tidak berdaya melawan kehendak
nasib dapat kita hayati dalam puisi Goenawan Mohamad "Asmaradana"
ini. Anjasmara menerima nasib apa pun yang akan terjadi pada dirinya; sebab jika
Damarwulan kalah dalam perang, ia akan kehilangan, dan jika suaminya itu
menang, ia pun akan kehilangan karena Damarwulan akan menjadi suami Sang Ratu
Kencana Ungu.
Asmaradana
la dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah
pedati ketika langit bersih menampakkan bimasakti
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tidak semuanya
disebutkan.
Lalu ia tahu, perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi
pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,
ia takkan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba
karena ia takkan berani lagi.
Anjasmara, adikku, tinggallah seperti dulu
bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
(Pariksit,
1972)
Demikian nada dan suasana hati penyair dalam puisi.
Dengan nada dan suasana hatinya, penyair memberikan kesan yang lebih mendalam
kepada pembaca. Puisi bukan hanya ungkapan yang bersifat teknis, namun suatu
ungkapan yang total karena seluruh aspek psikologis penyair turut terlibat dan
aspek-aspek psikologis itu dikonsentrasikan untuk memperoleh daya gaib. Rizanur
Gani menyebut nada atau sikap penyair ini dengan landasan tumpu (setting
psikologis).
4.
Amanat (Pesan)
Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita
memahami tema, rasa, dan nada puisi itu. Tujuan/amanat merupakan hal yang
mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat tersirat di balik
kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Amanat
yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran
penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan.
Banyak penyair yang tidak menyadari apa amanat puisi
yang ditulisnya. Mereka yang berada dalam situasi demikian biasanya merasa
bahwa menulis puisi merupakan kebutuhan untuk berekspresi atau kebutuhan untuk
berkomunikasi atau kebutuhan untuk aktualisasi diri. Bagaimanapun juga, karena
penyair adalah manusia yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan manusia
biasa dalam hal menghayati kehidupan ini, maka karyanya pasti mengandung amanat
yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan.
Sesuai dengan tema yang dikemukakan, ada puisi dengan
tema Ketuhanan, kemanusiaan, pendidikan, kebangsaan (patriotik), kedaulatan
rakyat dan keadilan social, maka dapat disebutkan secara garis besar bahwa ada
puisi yang mengandung amanat yang sesuai dengan tema yang dikehendaki. Namun
kemudian kita harus bertanya: dengan tema itu penyair mau apa? Bertujuan apa?
Bermaksud bagaimana? Maka dalam merumuskan amanat itu, tema harus dilengkapi
dengan perasaan dan nada yang dikemukakan penyair. Jadi, tema ketuhanan yang
sama mungkin mengandung amanat yang berbeda karena penyair mempunyai perasaan,
nada dan suasana hati yang berbeda pula.
Tema berbeda dengan amanat. Tema berhubungan dengan arti
karya sastra, sedangkan amanat berhubungan dengan makna karya sastra (meaning
dan significance). Arti karya sastra bersifat lugas, obyektif, dan khusus,
sedangkan makna karya sastra bersifat kias, subyektif dan umum. Makna
berhubungan dengan orang perorangan, konsep seseorang, dan situasi dimana
penyair mengimajinasikan karyanya (hal ini erat dengan perasaan dan nada yang
diungkapkan penyair). Rumusan tema harus obyektif dan sama untuk semua pembaca
puisi, namun amanat sebuah puisi dapat bersifat interpretatif, artinya setiap
orang mempunyai penafsiran makna yang berbeda dengan yang lain.
Walaupun tafsiran tentang amanat puisi dapat
bermacam-maeam, namun dengan memahami dasar pandangan, filosofi, dan aliran
yang dianut oleh pengarangnya, kita dapat memperkecil perbedaan itu. Inilah
gunanya teori sastra yang menyangkut pribadi pengarang. Bahkan sejarah sastra,
angkatan atau jaman terciptanya karya sastra akan menolong kita mendekati
amanat penyair secara lebih tepat. Tidak mungkin dapat dibenarkan jika puisi
seorang penyair yang benar-benar religius ditafsirkan sebagai puisi ateis
karena penafsirannya tidak memahami latar belakang keagamaan penyair.
No comments:
Post a Comment