Saturday 23 February 2013

HAKIKAT PUISI



Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan oleh penyair.

Makna dari puisi inilah yang disebut dengan hakikat puisi.
Ada 4(empat) unsur hakikat puisi; (1) tema (sense), (2) perasaan penyair (feeling), (3) nada dan suasana (tone), (4) amanat (intention).

Ke empat unsur tersebut menyatu dalam wujud penyampaian/pengucapan bahasa penyair.

1). Tema adalah gagasan pokok/subject matter. Gagasan pokok yang begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama (dasar) pengucapannya.

Dengan latar belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsep yang terimajinasikan. Karena tema puisi memang bersifat khusus (penyair), tetapi objektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).

Contoh tema : Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan/patriotism, kedaulatan rakyat, keadilan social, dstnya.

2). Feeling adalah suasana perasaan penyair yang bisa dihayati oleh pembaca.

Tema yang sama akan menghasilkan puisi yang berbeda karena perbedaan perasaan penyair terhadap objek tertentu (benci, cinta, simpati, antipati, dsb.

3). Nada adalah sikap tertentu dari penyair terhadap pembaca. (menyindir, menggurui, mengejek, menasihati, lugas, dsb). Sedangkan suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi.

4). Amanat (pesan) hanya dapat ditelaah setelah kita memahami tema, feeling, dan nada puisi. Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Kalau tema berhubungan dengan arti karya sastra (lugas, objektif, khusus), maka amanat berhubungan dengan makna karya sastra (kias, subjektif, umum).  


A.    HAKIKAT PUISI
Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hen­dak disampaikan penyair I.A. Richards menyebut makna atau struktur ba­tin itu dengan istilah hakikat puisi (1976:180-181). Ada empat unsur ha­kikat puisi, yakni: tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention). Keempat unsur itu menyatu dalam ujud penyampaian bahasa penyair.
1.      Tema
Tema merupakan gagasan pokok atau subject-matter yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan antara penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan. Jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untuk memprotes ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Perasaan cinta atau patah hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta atau tema kedukaan hati karena cinta.
Dengan latar belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tema puisi bersifat lugas, obyektif, dan khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh sebab itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua pe­nafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat). Berikut ini dipaparkan macam-macam tema puisi sesuai dengan Pancasila.

a. Tema Ketuhanan. Dalam contoh di depan telah dikemukakan bebe­rapa puisi dengan tema Ketuhanan. Puisi-puisi dengan tema Ketuhanan bia­sanya akan menunjukkan "religious experience" atau pengalaman religi pe­nyair. Pengalaman religi, didasarkan atas tingkat kedalaman pengalaman Ke­tuhanan seseorang. Dapat juga dijelaskan sebagai tingkat kedalaman iman seseorang terhadap agamanya atau lebih luas terhadap Tuhan atau kekuasa­an gaib. Banyak puisi yang menunjukkan pengalaman religi yang cukup da­lam meskipun tidak menunjukkan identitas agama tertentu. Dalam suasana demikian, penyair bicara mewakili semua manusia, mengatasi perbedaan agama, bangsa, suku, atau warna kulit. Memang puisi bersifat universal. Si­fat Ketuhanan seorang penyair, dapat diresapi oleh pembaca mana pun juga.
Pengalaman religi seorang penyair didasarkan atas pengalaman hidup pe­nyair secara konkret. Jika penyairnya bukan seorang religius yang khusyuk dalam hal religi, maka sulit diharapkan ia akan menghasilkan puisi bertema Ketuhanan yang cukup mendalam. Bahkan sebaliknya, jika penyair itu orang yang ragu-ragu akan Tuhan, ragu-ragu akan kekuasaan gaib, mungkin puisinya akan bersifat mempermain-mainkan Tuhan karena penggunaan nama Tuhan secara tidak terhormat. Ada pula penyair yang menempatkan tokoh-tokoh agama yang terhormat dalam tempat yang kurang terhormat. Hal ini disebabkan sang penyair pengalaman religinya kurang dalam.
Dalam setiap agama terdapat tokoh-tokoh yang dihormati karena me­miliki karisma, memiliki sifat sakral dan khidmat. Penghormatan kepada to­koh agama tertentu oleh seorang penyair yang memeluk agama tersebut juga dapat menunjukkan tingkat penghayatan keagamaan dari penyair itu. Sebaliknya, .(ika seorang penyair dari suatu agama tertentu mulai mencaci maki tokoh-tokoh yang dipandang terhormat dalam agama itu, itu suatu pertanda bahwa penyair tersebut mengalami pendangkalan iman terhadap agamanya.


Betapa dalam rasa Ketuhanan Amir Hamzah dalam sajak di bawah ini
Doa
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita,
kekasihku ?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama
meningkat naik, setelah menghalaukan panas
payah terik.    
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan,
melambung rasa menayangpikir, membawa angan ke
bawah kursimu.
Hariku terang menerima katamu, bagai bintang
memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap
malam menyirak kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu,
penuhi dadaku dengan cayamu, biar bersinar
mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi

Kedalaman rasa Ketuhanan itu tidak lepas dari bentuk fisik yang terla­hir dalam pemilihan kata, ungkapan, lambang, kiasan, dan sebagainya yang menunjukkan betapa erat hubungan antara penyair dengan Tuhan. Juga menunjukkan bagaimana penyair ingin agar Tuhan mengisi seluruh kalbunya. Betapa sungguh-sungguh sang penyair menyerahkan diri secara total, dapat kita rasakan secara nyata dalam sajak ini.
Rendra dalam puisi-puisinya sekitar tahun 1967 menunjukkan krisis iman Kristiani. Hal itu dibuktikan dengan menempatkan pastor dan pejabat gereja yang seharusnya mendapat penghormatan, pada tempat yang kurang terhormat, bahkan kadang-kadang dilukiskan sebagai orang yang tidak bi­jaksana dan konyol. Hal ini dapat dibaca dalam "Nyanyian Angsa" dan "Khotbah".




Nyanyian Angsa
 ...........................
Jam satu siang
Matahari masih di puncak
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
Lumer di bawah kakinya
la berjalan menuju gereja
Pintu gereja telah dikunci
Karena kawatir akan pencuri
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu
Koster keluar dan berkata: "Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang. Dan ini bukan jam bicara. " 'maaf. Saya sakit. Ini perlu. "
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau. Lalu berkata:
"Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu. "
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan cerutu, lalu bertanya:
"Kamuperlu apa?"
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa."
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdoa. "
“ Saya mau mati. "
"Kamu sakit?"
"Ya. Saya kena rajasinga.:'
Mendengar ini pastor mundur dua tindak
Mukanya mungkret
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“apa kamu -mm -Kupu-kupu malam?"
“Saya pelacur. Ya. "
“ Santu Petrus! Tapi kamu Katolik!"
"Ya. "
"Santu Petrus!"
Tiga detik tanpa suara
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa."
"Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja. "
"Santu Petrus!"
“Santu Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal-usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya. "
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding muka Maria Zaitun.
"Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tidah perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa. "
("Nyanyian Angsa". dalam Blues Untuk Bonnie, 1967)

Dalam agama Katolik, seorang pastor adalah gembala umat dan pemim­pin umat yang dihormati. Jika seseorang Katolik menggambarkan pastor dalam kedudukan seperti tersebut, di atas, hal ini menunjukkan adanya kri­sis iman dalam diri orang tersebut. Dan hal ini kiranya memang dibuktikan oleh Rendra. Beberapa tahun setelah penulisan sajak-sajak yang menunjuk­kan krisis iman Kristiani itu, Rendra menyatakan keluar dari gereja Katolik.
Sajak Rendra di atas dapat juga dipandang sebagai kritik sosial. Namun tema keagamaan kiranya lebih dominan. Pembaca yang menyelami sajak tersebut di atas akan segera menghayati kritik keagamaan yang diberikan oleh penyair. Diharapkan agar pembaca tidak terseret ke dalam gagasan pe­nyair yang menempatkan pastor dalam kedudukan konyol semacam itu. Hal itu tidak terjadi jika pembaca memiliki iman yang cukup dalam.
Sikap Ketuhanan yang ditunjukkan Rendra itu kiranya memiliki ke­miripan dengan sikap Chairil Anwar dalam sajaknya yang berjudul "'Sorga". Iman penyair yang kurang mendalarn hendaknya dipahami pembaca, sehingga pembaca tidak menganggap bahwa kebenaran yang diungkapkan penyair adalah kebenaran yang harus diterima oleh pembaca

Sorga

Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu.
Tapi ada suara menimbang dalam diriku
nekad mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatahan pasti
di situ memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya
Yati?
(Chairil Anwar, 1947)

Sajak di atas lain sekali dengan sajak "Doa" yang pernah dikutip di de­pan. Kedalaman iman seperti dalam "Doa" tidak kita dapati dalam "Sorga". Demikian pula sajak Rendra "Nyanyian Angsa" nampak bahwa nafas ke­tuhanannya lain dengan "Ballada Penyaliban" yang dikarang lebih kurang 10 tahun sebelumnya, ketika iman Kristianinya masih dalam. Puncak peng­hayatan iman Kristiani adalah pada Kristus yang wafat di kayu salib. Da­lam sajak "Ballada Penyaliban" Rendra dapat mengekspresikan perasaan religius seorang Kristen melalui lukisan keharuan jiwanya membayangkan kisah penyaliban tersebut.



Ballada Penyaliban

Yesus berjalan ke Golgota
disandangnya salib kayu
bagai domba kapas putih
Tiada mawar-mawar di jalanan
tiada daun-daun palma
domba putih menyeret azab dan dera
merunduk oleh togas teramat dicinta
dan ditanam atas maunya.
Mentari meteleh
segala menetes dari luka
dan leluhur kita Ibrahim
berlutut, dua tangan pada Bapa:
---Bapa kami di Sorga
telah terbantai domba paling putih
atas altar paling agung
Bapa kami di sorga
berilah kami bianglala!
la melangkah ke Golgoga
jantung berwarna paling agung
mengunyah dosa demi dosa
dikunyahnya dan betapa getirnya.
Tiada jubah terbentang di jalanan
bunda menangis dengan rambut pada debu
dan menangis pula segala perempuan kota.
---Perempuan !
mengapa kau tangisi diriku
dan tiada kau tangisi dirimu?
Air mawar merah dari tubuhnya
menyiram jalanan kering
jalanan liang-liang jiwa yang papa
dan pembantaian berlangsung
atas taruhan dosa.
Akan diminumnya dari tuwung kencana
anggur darah tambungnya sendiri
dan pada tarikan napas terakhir bertuba
---Bapa, selesailah semua !
(W.S. Rendra, BalladaOrang-orang Tercinta, 1961)
Di dalam sajak "Ballada Penyaliban" tersebut di atas, Rendra berha­sil mengungkapkan keharuan yang muncul oleh derita Kristus. Derita itu timbul karena dosa-dosa manusia. Puisi yang memiliki kedalaman nilai religi seperti ini dapat memperdalam rasa Ketuhanan pembaca. Namun, puisi-puisi seperti "Sorga" dan "Nyanyian Angsa" juga dapat dijadikan karena untuk memberikan alternatif lain dalam pikiran pembaca, sehingga sikap beragama pembaca tidak beku.
b. Tema Kemanusiaan. Tema kemanusiaan bermaksud menunjukkan betapa tingginya martabat manusia dan bermaksud meyakinkan pembaca bahwa setiap manusia memiliki harkat (martabat) yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat, dan kedudukan seseorang, tidak boleh menjadi sebab adanya pembedaan perlakuan terhadap kemanusiaan seseorang. Para pe­nyair memiliki kepekaan perasaan yang begitu dalam untuk memperjuang­kan tema kemanusiaan. Akan dikutip sajak Toto Sudarto Bachtiar yang membela martabat kemanusiaan gadis peminta-minta yang dalam sajak itu disebut gadis kecil berkaleng kecil.

Gadis Peminta-minta

Setiap kita bertemu, gadis kecil
berkaleng kecil Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang tanpa jiwa.
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang.
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitei murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku.
Kalau kau mati gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagl punya tanda.
Toto Sudarto Bachtiar, Suara


Jika kebanyakan pembaca menganggap bahwa pengemis kecil yang min­ta-minta di pinggir jalan sebagai sampah masyarakat, sebagai manusia yang tidak berharga, maka penyair mengatakan dengan tegas bahwa martabat ke­manusiaan gadis peminta-minta itu sama derajatnya dengan martabat manu­sia semua orang lainnya. Martabatnya lebih tinggi dari menara katedral. Bahkan jika gadis kecil itu mati, kota Jakarta akan kehilangan jiwa sebab dunianya tidak mempunyai tanda lagi.
Rendra - karena sajak-sajaknya yang membela martabat kemanusiaan bagi orang-orang tersingkir seperti: pelacur, perampok, pembunuh, wanita yang kesepian, orang gila dan sebagainya - dinyatakan oleh A, Teeuw se­bagai nabi perikemanusiaan selama 25 tahun terakhir di Indonesia (Teeuw: 1975). Karena sikapnya yang gigih dalam membela kaum tersingkir, orang­orang terhormat yang harusnya mendapatkan tempat sebagai tokoh yang baik, oleh Rendra ditempatkan pada posisi yang tidak menyenangkan. Ka­rena kegigihannya dalam menegakkan harkat kemanusiaan orang-orang ter­sisih ini, maka orang-orang tersisih oleh Rendra dinyatakan sebagai "Orang­-orang Tercinta",(Ballada Orang-orang Tercinta).
Manusia awam biasanya terlelap dalam kerutinan hidup sehingga lupa memikirkan nasib orang lain. Mereka lupa memikirkan harkat dan marta­bat orang-orang yang dikategorikan sampah masyarakat yang biasanya di­palingkan dari kehidupan "normal". Rendra yakin bahwa penderitaan "orang-orang tercinta" itu tidak disebabkan kesalahan mereka semata. Mungkin sejarah dan manusia "normal" ikut andil dalam menciptakan pen­deritaan orang-orang tersisih itu. Dengan sajak demikian, pembaca akan me­refleksi diri, mengintrospeksi dirinya sendiri, dan jika dapat ikut mengang­kat harkat dan martabat mereka. Paling tidak pembaca diharap menghargai mereka itu sebagai manusia yang di mata Tuhan bermartabat sama dengan manusia-manusia lainnya.
Sajak Rendra "Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta" meneriakkan pembelaan Rendra terhadap para pelacur yang dikejar-kejar seperti bina­tang. Padahal kemanusiaan mereka sedikit pun tidak kurang dari kemanu­siaan dari manusia lainnya.
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta

Pelacur-pelacur kota Jakarta
dari kelas tinggi dan kelas rendah
telah diganyang
telah diharu-biru
Mereka kecut
keder
terhina dan tersipu-sipu
Sesalkan mana yang musti kausesalkan,
Tapi jangan kau klewat putus asa.
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban.
Wahai, pelacur-pelacur kota Jakarta.
Sekarang bangkitlah.
Sanggul kembali rambutmu.
Kerna setelah menyesal
datanglah kini giliranmu
bukan untuk membela diri melulu
tapi untuk melancarkai serangan
Kerna:
Sesalkan mana yang mesti kausesalkan
tapi jangan kau rela dibikin korban,
 ...........................
Politisi dan pegawai tinggi
adalah caluk yang rapi.
Konggres-konggres dan konperensi
tak pernah berjaIan tanpa kalian.
Kalian tak pernah bisa bilang "tidak"
lantaran kelaparan yang menakutkan
kemiskinan yang mengekang
dan telah lama sia-sia cari kerja.
Ijazah sekolah tanpa guna
Para kepala jawatan
akan membuka kesempatan
kalau kau membuka paha.
Sedang di luar pemerintahan
Perusahaan-perusahaan macet
lapangan kerja tak ada ....
Revolusi para pemimpin
adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk sorga
dan tidak untuk bumi.
Reuolusi dewa-dewa
tak pernah menghasilkan
lebih banyak lapangan kerja
bagi rakyatnya.
Kalian adalah sebagian penganggur
yang mereka ciptakan.
Namun
sesalkan mana yang mesti kausesalkan
tapi jangan kau klewat putus asa
dan kau rela dibikin korban.
 ......................
Saudari-saudariku. Bersatulah.
Ambillah galah.
Kibarkan kutang-kutangmu di ujungnya
Araklah keliling kota
sebagai panji-panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut.
Katakanlah kepada mereka:
Menganjurkan mengganyang pelacuran
tanpa menganjurkan
mengawini para bekas pelacur
adalah omong kosong
Pelacur-pelacur kota Jakarta.
Saudari-saudariku.
Jangan melulu keder pada lelaki.
Dengan mudah
kalian bisa telanjangi kaum palsu.
Naikkan taripmu dua kali
dan mereka akan klabakan:
Mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berjina
dengan istri saudaranya.
Blues Untuk Bonnie, 1967
Rasa kemanusiaan juga dapat menunjukkan tema cinta, belas kasih, nasihat seorang ayah kepada anaknya, penghormatan seorang murid kepada gurunya, perjuangan hak-hak azasi manusia, perjuangan, dan sebagainya.
c. Tema patriotisme/kebangsaan. Tema patriotisme dapat meningkatkan perasaan cinta akan bangsa dan tanah air. Banyak puisi yang melukiskan perjuangan merebut kemerdekaan dan mengisahkan riwayat pahlawan yang berjuang melawan penjajah. Tema patriot juga dapat diujudkan dalam ben­tuk usaha penyair untuk membina kesatuan bangsa atau membina rasa ke­nasionalan.
Sajak Chairil Anwar yang berjudul "Krawang-Bekasi" dan "Diponegoro" merupakan sajak yang memiliki tema patriotisme. Jika puisi tersebut diba­ca, akan meningkatkan sifat patriotik pembacanya.

Diponegoro

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti.
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju
Serbu
Serang
Terjang.
Chairil Anwar, 1943

Perjuangan Pangeran Diponegoro dalam usaha mengusir penjajah dan memerdekakan bangsa kita, dapat menumbuhkan patriotisme dalam diri pembaca. Martabat dan harga diri sebagai bangsa dapat kita tingkatkan jika kita mengenang kepahlawanan Pangeran Diponegoro. Sajak Taufiq Ismail yang berjudul "Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini" juga meningkatkan kesadaran nasional pembacanya. Pembaca berusaha agar dirinya tidak men­jadi penonton pembangunan. Sebab penyair memberi nasihat mengatakan bahwa kita semua adalah pemilik sah republik ini.

Kita adalah Pemilik Sah Republik ini.
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur.
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran:
“Duli Tuanku "?
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata kuyu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara.
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus.
Taufiq Ismail, Tirani, 1966

Dari kisah-kisah demonstrasi 1966, dapat kita jumpai banyak sajak-sa­jak yang bertema patriotik. Dari pengungkapan kisah perjuangan bersejarah itu, pembaca akan merasakan getaran patriotisme dan perjuangan tanpa pamrih untuk menumbangkan kekuasaan Orde Lama, dan selanjutnya me­negakkan keadilan dan kebenaran di bumi Indonesia.      
Rasa patriotisme juga dapat muncul pada tema cinta bangsa dan tanah air. Puisi-puisi yang menunjukkan kecintaan penyair terhadap tanah kelahi­rannya juga dapat diklasifikasikan sebagai puisi yang memiliki tema kecinta­an terhadap tanah air atau patriotisme. Sebagai contoh: "Madura", "Sa­rangan", "Tawangmangu" (Abdul Hadi W.M.), "Sumba" (Taufiq Ismail), "Romance Perjalanan" (Kirjomulyo), "Priangan Si Jelita" (Ramadhan K.H.), "Ibukota Senja" (Toto Sudarto Bachtiar), "Candi Mendut", "Tera­tai" (Sanusi Pane), dan sebagainya.
d. Tema kedaulatan rakyat. Penyair begitu sensitif perasaannya untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat dan menentang sikap kesewenang-wenangan pihak yang berkuasa. Tema kedaulatan rakyat dan tema keadilan sosial biasanya kita dapati pada puisi protes. Dalam puisi yang bertema ke­daulatan rakyat, yang kuat adalah protes terhadap kesewenang-wenangan pihak yang berkuasa yang tidak mendengarkan jeritan rakyat atau dapat juga berupa kritik terhadap sikap otoriter penguasa. Sedangkan dalam puisi yang bertema keadilan sosial, yang ditonjolkan adalah kepincangan sosial. Dengan menonjolkan kepincangan sosial, penyair berharap agar orang yang kaya ingat kepada para penderita. Penyair berharap agar orang yang ber­kuasa memikirkan nasib si miskin. Dan diharapkan penyair agar kita semua tidak hanya mengejar kekayaan pribadi, namun juga mengusahakan kesejah­teraan bersama.
Sajak "Kemis Pagi" karya Taufiq Ismail di bawah ini merupakan contoh sajak yang bertema kedaulatan rakyat. Kesewenang-wenangan tirani dike­cam habis-habisan di sini.

Kemis Pagi
Hari ini kita tangkap tangan-tangan kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan meterai kerajaan
Dengan suara lantang memperatasnamakan
Kawula dukana yang berpuluh juga.
Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung di tiang Keadilan
Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya.
Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Membeli benda-benda tanpa harga di manca negara
Dan memperoleh uang emas beralus juta
Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negri
Merekalah penganjur jina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita.
Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Kebanyakan anak-anak muda berumur belasan
Yang berangkat dari rumah, pagi tanpa sarapan
Telah kita naiki gedung-gedung itu
Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya
Seorang ketika digiring, tersedu
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya
Dan berjalan pertahan dengan lemahnya.
Taufiq Ismail, Tirani, 1966

Kedaulatan rakyat berarti bahwa rakyat mempunyai suara yang penting dan menentukan. Suara rakyat menentukan kekuasaan. Pemerintah dan pe­nguasa harus mencerminkan kehendak rakyat. Demikianlah kira-kira tema puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul "Rakyat" berikut ini :

Rakyat

Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan Wang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batu bara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemari angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka.
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suam beraneka.
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta.
Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
Hartoyo Andangjaya, 1962

Dalam puisi di atas, dinyatakan betapa pentingnya rakyat dalam suatu 'negara. Oleh sebab itu, rakyat dengan suaranya dan kehendaknya, hendak­nya selalu dijadikan pedoman langkah dan kebijaksanaan para pimpinan ne­gara. Pimpinan hendaknya selalu ingat kepada rakyat. Mereka sendiri pun sebenarnya juga rakyat seperti kita semuanya.
e. Tema keadilan sosial. Nada protes sosial sebenarnya lebih banyak menyuarakan tema keadilan sosial daripada tema kedaulatan rakyat. Puisi-puisi demonstrasi yang terbit sekitar tahun 1966 pada hakekatnya adalah puisi yang lebih banyak menyuarakan keadilan sosial. Potret Pembangunan dalam Puisi karya Rendra adalah kumpulan sajak yang bertemakan keadilan sosial. Yang dilukiskan dalam tema ini adalah ketidakadilan dalam masyara­kat, dengan tujuan untuk mengetuk nurani pembaca agar keadilan sosial di­tegakkan dan diperjuangkan.
Sajak "Kemis Pagi" karya Taufiq Ismail yang telah dikutip di depan juga menyuarakan perjuangan memperoleh keadilan sosial yang lama di­injak-injak. Dengan melukiskan perjuangan untuk keadilan sosial ini, Taufiq Ismail ingin agar keadilan sosial diperjuangkan dan ditegakkan. Puisi Rendra di bawah ini juga melukiskan tiadanya keadilan sosial dan bertujuan agar keadilan sosial diperjuangkan.

Sajak Burung-burung Kondor

Angin gunung turun merembes ke hutan
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani - buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani buruh bekerja
berumah di gubuk gubuk tanpa jendela
menanam bibit - di tanah yang subur
memanen hasil yang berlimpah dan mahmur,
namun hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjelma menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirimkan kondom.
Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh he kanan,
di dalam usaha tak menentu,
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai
dan suhmanya berubah menjadi burung Kondor.
Beribu-ribu burung kondor
berjuta-juta burung kondor
bergerak menuju gunung tinggi,
dan di sana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.
Burung-burung kondor menjerit
Di dalam marah menjerit
Tersingkir ke tempat-tempat yang sepi.
Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu
mematuki batu-batu, memafuki udara.
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.
Rendra, 1973
Dalam sajak ini diberikan gambaran bahwa rakyat kecil atau burung kondor hidupnya sengsara. Mereka kerja keras, namun tidak menerima pembagian hasil secara adil. Sementara itu di kota, orang siap untuk me­nembaknya, setelah mereka tahu bahwa si kecil resah. Dalam sajak "Dari Seorang Guru Kepada Murid-muridnya" dikisahkan tentang penderitaan dan kemiskinan seorang guru. Tema keadilan sosial bertujuan agar pembaca turut memikirkan kesejahteraan guru.

Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya

Apakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdian kepadamu.
Kalau di hari minggu engkau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana,
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga.
Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
 - - - horison yang selalu biru bagiku - - -
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua.
Solo, 1955
Demikianlah ulasan tentang tema yang merupakan pikiran pokok dari penyair dan biasanya dilandasi oleh filsafat hidup penyair. Banyak tema lain yang dapat dikemukakan penyair. Dalam kaitan ini, penulis membicara­kan tema yang sesuai dengari tujuan pendidikan Nasional. Di samping kese­suaian dengan tujuan pendidikan, tema yang dipilih untuk pengajaran hen­daknya sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa anak dan lingkungan hidup anak.
Perlu diketahui bahwa tema yang memiliki tingkat tinggi adalah tema Ketuhanan atau religius karena dengan tema yang demikian penyair menga­jak pembaca merenungkan kekuacaan Tuhan. Dengan merenungkan Tuhan dan kekuasaannya, manusia akan lebih menyadari keterbatasannya. Dengan jalan demikian, manusia berusaha menjadi lebih baik dan lebih dekat de­ngan Tuhan.
Di depan sudah dinyatakan bahwa tema tidak dapat dilepaskan dari perasaan penyair, nada yang ditimbulkan, dan amanat yang hendak disampai­kan. Uraian tentang tema ini sengaja dibuat panjang lebar dengan contoh yang cukup banyak karena akan dijadikan titik tolak uraian perasaan, nada, dan amanat yang hendak disampaikan. Pernyataan batin dalam tema, pera­saan, nada, dan amanat puisi juga tidak dapat dilepaskan dari struktur fisik. (metode) puisi. Sebab dengan tema yang khas, dibutuhkan bentuk peng­ucapan bahasa yang khas pula. Pengungkapan tema yang sama dengan nada dan perasaan berbeda, akan menuntut pilihan kata, ungkapan, lambang, dan kiasan yang berbeda pula. Sebab itu, uraiari tentang tema ini akan berkaitan dengan nada, perasaan, amanat dan juga bentuk fisik (metode) puisi yang akan dibahas pada Bab IV.

2.      Perasaan (Feeling).
Dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama, penyair yang satu dengan perasaan yang berbeda dari penyair lainnya, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula. Dalam menghadapi tema keadilan sosial atau kemanusiaan, penyair banyak menampilkan kehidupan pengemis atau orang gelandangan. Perasaan Chairil Anwar berbeda dengan perasaan Toto Sudarto Bachtiar berbeda pula dengan Rendra dan Arifin C. Noer dalam menghadapi pengemis. Toto Sudarto Bachtiar menghadapi ga­dis kecil berkaleng kecil dengan perasaan iba hati karena rasa belas kasih­nya. Penyair bahkan ingin "ikut gadis kecil berkaleng kecil" itu. Rendra berperasaan benci dan bersikap memandang rendah para pengemis karena Rendra memandang bahwa pengemis tidak berusaha keras untuk menopang kehidupannya. Sikap Chairil Anwar sama dengan sikap Rendra. Mereka ti­dak memiliki rasa belas kasih kepada para pengemis.
Dalam puisi-puisi yang kita jadikan contoh di depan, nampak bahwa perbedaan sikap penyair menyebabkan perbedaan perasaan penyair meng­hadapi obyek tertentu. Sikap simpati dan antipati, rasa senang dan tidak se­nang, rasa benci, rindu, setiakawan, dan sebagainya dapat kita jumpai dalam puisi-puisi di atas.
Tema Ketuhanan kita dapati dalam sajak "Doa" karya Chairil Anwar dan "Padamu Jua" karya Amir Hamzah. Karena sikap kedua penyair terha­dap Tuhan pada saat itu berbeda, maka perasaan yang dihasilkan juga ber­beda. Rasa Ketuhanan dalam "Doa" penuh kepasrahan dan kekhusyukan. Sedangkan dalam "PadaMu Jua" rasa Ketuhanan penuh dengan keraguan, penasaran, dan kekecewaan. Demikian juga perbedaan perasaan Ketuhanan Rendra nampak dalam "Balada Penyaliban" dan dalam "Nyanyian Angsa". Dalam sajak yang pertama Rendra menunjukkan rasa khusyuk terhadap agamanya sedangkan dalam sajak kedua Rendra menunjukkan rasa sangsi terhadap agamanya.
Dalam menghadapi ketidakadilan, perasaan penyair yang satu berbeda dari penyair lainnya. Dalam Tirani, Benteng (Taufiq Ismail), puisi-puisi de­monstrasi 1966, dan puisi-puisi Rendra (Potret Pembangunan Dalam Puisi ), perasaan geram terhadap ketidakadilan nampak sekali. Perasaan geram itu ditonjolkan karena penyair merasa bahwa ketidakadilan sudah begitu me­rajalela. Perasaan Taufiq Ismail dan Rendra berbeda dengan perasaan Goe­nawan Mohamad, Sapardi Joko Damono, dan Subagio Sastrowardojo. Ke­tiga penyair ini juga mengemukakan kritik terhadap ketidak adilan, namun dengan perasaan yang mengendap, sabar, penuh pertimbangan dan pere­nungan. Dalam puisi Goenawan Mohamad, Sapardi Joko Damono, dan Su­bagio, sekalipun protes sosial yang dikemukakan itu cukup keras, namun terasa tidak menyakitkan karena disampaikan dengan perasaan sabar dan penuh pertimbangan. Untuk mengritik industrialisasi yang berpengaruh ne­gatif terhadap manusia, Goenawan Mohamad menulis sajak ini
Di Kota itu,
Kata Orang, Gerimis telah Jadi Logam

Di kota itu, kata orang, gerimis telah jadi logam. Di bawah
cahaya haripun bercadar, tapi aku tahu kita akan sampai ke sana
Dan kita bercinta tanpa batuk yang. tersimpan, membiarkan
gumpal darah di gelas itu menghijau. Dan engkau bertanya
mengapa udara berserbuk di antara kita?
Lalu pagi selesai burung lerai dan sisa bulan tertinggal di luar
di atas cakrawala aspal.
Jika samsu pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu.
Tapi tutupkan matamu, dan bayangkan aku menjemputmu,
mautmu.
Goenawan Mohamad, 1971
Perasaan penyair yang satu dengan yang lain berbeda-beda dalam menghadapi pahlawan kemerdekaan. Chairil Anwar dalam puisinya "Diponegoro" mengagumi pahlawan itu dan ia bermaksud untuk memberi nasihat kepada pembaca agar kepahlawanan Diponegoro menjadi api pembangunan. Sanusi Pane juga kagum kepada Ki Hajar Dewantoro, sehingga Ki Hajar diumpama­kan sebagai bunga teratai.


Teratai
Kepada Ki Hajar Dewantara
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tiada terlihat orang yang 1alu.
Akarnya tumbuh di hati dunia,
Daunnya berseri, laksmi mengarang;
Biarpun dia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulia.
Teruslah, o Teratai Bahagia,
Berseri di kebun Indonesia,
Biarkan sedikit penjaga taman,
Biarpun engkau tidak dilihat,
Biarpun engkau tidak diminat,
Engkau turut menjaga jaminan
Sanusi Pane, 1957
Rasa kagum Chairil Anwar terhadap Pangeran Diponegoro berbekas dengan rasa kagum Sanusi Pane terhada Ki Hajar Dewantara. Perbedaan itu karena perbedaan dari sikap kedua penyair dan perbedaan nilai dan jenis kepahlawanan dari keduanya.
Rasa baru yang timbul ketika kita membaca “Gadis Peminta-minta” karya Toto Sudarto Bachtiar berbeda dengan rasa baru yang timbul karena pembaca sajak Taufiq Ismail ini :

Karangan Bunga

Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba

‘Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karanganbunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi!’
Taufiq Ismail, 1966

Perbedaan perasaan baru itu disebabkan karena perbedaan keterlibatan batin antara Toto dengan Taufiq. Toto begitu dalam melibatkan rasa harunya terhadap gadis kecil berkaleng kecil, sedangkan Taufiq kurang melibatkan keharuannya kepada tiga anak kecil yang membawa karangan bunga.
Sajak yang bertema cinta juga mempunyai perasaan yang bermacam-macam. Dalam sajak ”Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar yang telah dikutip di depan, kedikaan karena kegagalan cinta itu terasa begitu mendalam. Perasaan cinta yang begitu bahagia dilukiskan Rendra dalam “Surat Cinta”, “Surat Kepada Bunda Tentang Calon Mantunya”, “Kakawin kawin”, “Serenada Hijau”., dan sebagainya. Puisi-puisi cinta Amir Hamzah juga bernada sendu, karena berisi perasaan sedih yang mendalam. Cobalah kita hayati betapa dalam perasaan duka Y.E. Tatengkeng oleh kehilangan anaknya :

Anakku

Ya, kekasihku ……….       
Engkau datang menghintai hidupku
Engkau datang menunjukkan muka,
Tetapi sekejap matamu kau tutup,
Melihat terang anakda tak suka.

Mulut kecil tiada kau buka
Tangis teriakmu tak diperdengarkan,
Alamat hidup wartakan suka.
Kau diam anakku, kami kautinggalkan.

Sedikit pun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguding,
Air matamu tak bercucuran,
Tinggalkan ibumu tak penghiburan.

Kau diam, diam, kekasihku,
Tak kau katakan barang pesanan,
Akan penghibur duka di dadaku,
Kekasihku, anakku, mengapa kian ?

Sebagai anak melalui sedikit,
Akan rumah kami berdua,
Tak anak tak insaf sakit,
Yang diderita orang tua.

Yang kecil lemah bergantung,
Tak diangkat memeluk ibumu,
Menyapu dadanya, menyapu jantung,
Hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.

Selekas anakda datang,
Selekas anakda pulang,
Tinggalkan ibu sakit terlentang,
Tinggalkan bapa sakit mengenang.
Selamat datang anakda kami,
Selamat jalan kekasih hati.
Anak kami Tuhan berikan,
 Anak kami Tuhan panggilkan,
 Hati kami Tuhan hiburkan,
Nama Tuhan kami pujikan.
Y.E. Tatengkeng, 1952
Demikianlah macam-macam perasaan yang dapat kita hayati dalam berbagai macam puisi dan dalam berbagai macam tema puisi. Perasaan yang diungkapkan penyair berpengaruh terhadap pemilihan bentuk fisik (metode) puisi.

3.      Nada dan Suasana
Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap pe­nyair kepada pembaca ini disebut nada puisi. Sering kali puisi bernada san­tai karena penyair bersikap santai kepada pembaca. Hal ini dapat kita jum­pai dalain puisi-puisi mbeling.
Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psiko­logis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Jika kita bicara tentang sikap penyair, maka kita berbicara tentang nada; jika kita berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang timbul setelah membaca puisi, maka kita ber­bicara tentang suasana. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada duka yang di­ciptakan penyair dapat menimbulkan suasana iba hati pembaca. Nada kritik yang diberikan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan bagi pembaca. Nada religius dapat menimbulkan suasana khusyuk. Begitu seterusnya.
Berikut ini dikutip puisi dengan nada menyindir yang bersifat sinis. Na­mun nada sinis itu bersifat filosofis juga karena merenungkan hakikat hidup kita. Pembaca harus merenungkan makna puisi ini, agar mampu menghayati pesan yang hendak disampaikan Subagio Satrowardojo.

Bulan Ruwah
Kubur kita terpisah dengan tembok tinggi
Sebab aku punya Tuhan, dia orang kafir.

Di Yaumulakir
roh kita dari kubur
akan keluar berupa kelelawar
dan berebut menyebut nama Allah
dengan cicit suara kehausan darah.

Kita sudah siap dengan daftar tanya:
Tuhan, ya robilalamin!
adakah kau Islam atau Kristen
apakah kitabmu: kor'an atau injil
apakah bangsamu: seorang rus, cina atau jawa?

Orang rus itu komunis yang menghina nabi dan agama
Orang cina suka makan babi. Itu terang jadi larangan.
orang jawa malas sembahyang, dan gemar pada mistik.
Apakah bahasamu, apakah warna kulitmu, apakah asalmu?
Apahah kau pakai peci dan sarung pelekat
atau telanjang seperti budak habsyi hitam pekat
 --atau seperti bintang pilem berpotret di kamar mandi?
antara tanda kurung: adakah dia punya Tuhan ? –
Daftar tanya kita tandai dengan cakaran hitam
seribu tangan.
Tetapi kalau Tuhan tinggal diam seperti tugu
kita akan bertindak desak keputusan
kita rubuhkan batu bisu
dengan kutuk dan serapah.

Kita kembali bergantung di dahan
dan bermimpi tentang sorga dan Tuhan
yang mirip rupa kita sejak semula:
Kelelawar bercicit kehausan darah.            '
'                                                                                 Subagio Sastrowardojo, 1957

Dengan puisi di atas, Subagio mengajak pembaca merenung tentang Tu­han dan ciptaannya. Kata-katanya tidak dapat kita hayati secara harfiah ka­rena makna yang diungkapkan bersifat filosofis.
Nada gemas karena usahanya memahami rahasia Tuhan tidak berhasil kita dapatkan dalam sajak-sajak mutakhir Sutardji Calzoum Bachri. Coba kita hayati nada sajak ini
O
dukaku dukakau dukarisau dukakatian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragu tahu ragu kalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian sia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisang sai
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O……………………
     
Sutardji Calzoum Bachri, 1966

Nada main-main dapat kita jumpai pada puisi-puisi mbeling dan puisi­-puisi Yudhistira Ardinugraha. Puisi mbeling karya Remy Silado di bawah ini, bernada main-main atau santai.
Belajar Menghargai Hak Azasi Kawan
jika
laki mahasiswa
ya perempuan mahasiswi
jika
laki saudara
ya perempuan saudari
jika
laki pemuda
ya perempuan pemudi
jika laki putra
ya perempuan putri
jika taki kawan
ya perempuan kawin
jika
kawan kawin
ya jangan ngintip
Remy Silado, Aktuil
Yudhistira dalam kumpulan puisinya "Rudi Jalak Gugat" juga meng­ungkapkan nada yang hampir sama. Namun dalam puisi Yudhis ada sedikit
perenungan dan kesungguhan hati.
Bikin Sendiri Saja
Bikin sendiri saja udara mana kau suka
Bikin sendiri saja bumi mana kau suka
Bikin sendiri saja rasa mana kau suka
Bikin sendiri saja logika mana kau suka
Langit telah kehabisan hawa
Tanah telah kehabisan pijak
Jiwa telah kehabisan peka
Benak telah kehabisan jawab

Hidup jadi kerempeng
Tujuan jadi melenceng
Pengembaraan jadi dongeng
Meditasi jadi cengeng.

Jika tak bikin sendiri segala idaman
Jika tak bikin sendiri segala harapan
Jika tak bikin sendiri segala kerjaan
Jika tak bikin sendiri segala makanan

Mimpi bakal kehabisan warna
Nasib bakal kehabisan garis
Tenaga bakal kehabisan makna
Palawija bakal kehabisan akar

Hari jadi duri
Usia jadi sia
Waktu jadi hantu
Kesempatan jadi setan.
Bikin sendiri saja
Kelanjutan segala bayang.
Yudhistira, 1982
Nada revolusioner penuh dengan semangat berkobar dan hasutan dapat kita temukan dalam sajak-sajak penyair LEKRA yang sangat populer antara tahun 1962-1965 di Indonesia. Semangat berapi-api revolusioner ini mem­bangkitkan emosi yang meluap-luap tak terkendali.

Makan Roti Komune
Pergaulan, setiakawan, dan harapan adalah
nasi, adalah roti serta bunga buah
Yang mengisi kehidupan pekerja
Jika bebas
dari kebohongan, penindasan dan penipuan
penjajahan, feodalisme dan banditisme
Pergaulan, setiakawan dan harapan
kujumpai dan kurasakan
dalam komune ini. Oleh karena itu:
Aku ingin minum dari kehangatan
harapan saudara-saudara.
Aku ingin menjabat tangan
saudara-saudara yang sibuk bekerja
Aku ingin makan roti ini,
roti komune sebagai tanda
pulihnya pergaulan, setiakawan dan
harapan antara manusia
buat selama-lamanya dan cinta,
cita-cita dan kenyataan dunia sosialis.
Sitor Situmorang, Zaman Baru, 1961
Demikianlah nada puisi yang dapat kita hayati melalui puisi. Dalam na­da ini kita hayati sikap penyair yang secara tersifat dapat ditangkap oleh pembaca. Jadi tidak secara harfiah. Pembaca menghayati suasana yang di­timbulkan oleh nada puisi. Sebab itu, nada puisi berhubungan erat dengan suasana.
Nada menasehati dapat kita hayati dalam puisi Asrul Sani di bawah ini :
Surat dari Ibu
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.

Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum hemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.

Jika bayang telah pudar
dan elang lout pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padaku!

Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
"Tentang cinta dan hidupmu pagi hari. "
(1948)

Penyair memberi petuah kepada para pemuda agar menimba ilmu dan pengalaman seluas dan sedalam mungkin. Anak-anak itu pantang pulang se­belum sukses. Setelah berhasil, mereka pulang dan mereka akan diterima dengan keramah-tamahan sambil menceritakan pengalaman masing-masing.
Nada minta belas kasih (memelas) akan kita hayati dalam puisi Ali Hasj­my di bawah ini. Nada demikian dipergunakan penyair untuk mensugesti pembaca agar tidak mencontoh tokoh (aku lirik) yang dikisahkan dalam puisi ini.
Menyesal
Pagiku hilang sudah melayang,
Hari mudaku sudah pergi,
Sekarang petang datang membayang,
Batang usiaku sudah tinggi.

Aku lalai di hari pagi,
Beta lengah di masa muda,

Kini hidup meracun hati,
Miskin ilmu, miskin harta.

Ah, apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna,
Hanya menambah luka sukma.

Kepada yang muda kuharapkan,
Atur barisan di hari pagi,
Menuju ke arah padang bakti.
( Puisi Baru, 1954)
Kegelisahan penyair dapat kita tangkap dari puisi-puisi perjalanan Sla­met Sukirnanto, seperti dalam "Cipanas 1970" ini

Cipanas 1970
Angin sore mengulur tangan
Meraih lembah
Menyeret sepi ketika cintamu
Tiada tumbuh lagi dalam pusaran !

Warna bunga-bunga
Langit dan
Padamu: kuserahkan setangkai
Kegelisahan menyusup ---
tangkai demi tangkai !

Ada bocah mengulur benang layang-layang
Ada lelaki mengulur tambang angan-angan
Ada layang-layang ada angan-angan
Mengatas lewat pucuk pucuk bukit.
(Bunga Batu, 1979)


Kegelisahan yang diungkapkan penyair adalah kegelisahan seorang lelaki dalam perjalanan. Karenanya, dalam perjalanan ada bunga yang menerima penyerahan total kegelisahan itu.        
Nada pasrah karena merasa tidak berdaya melawan kehendak nasib da­pat kita hayati dalam puisi Goenawan Mohamad "Asmaradana" ini. Anjas­mara menerima nasib apa pun yang akan terjadi pada dirinya; sebab jika Damarwulan kalah dalam perang, ia akan kehilangan, dan jika suaminya itu menang, ia pun akan kehilangan karena Damarwulan akan menjadi suami Sang Ratu Kencana Ungu.
Asmaradana
la dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah
pedati ketika langit bersih menampakkan bimasakti
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. la melihat peta
nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tidak semuanya
disebutkan.

Lalu ia tahu, perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi
pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,
ia takkan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba
karena ia takkan berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah seperti dulu
bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
(Pariksit, 1972)
Demikian nada dan suasana hati penyair dalam puisi. Dengan nada dan suasana hatinya, penyair memberikan kesan yang lebih mendalam kepada pembaca. Puisi bukan hanya ungkapan yang bersifat teknis, namun suatu ungkapan yang total karena seluruh aspek psikologis penyair turut terlibat dan aspek-aspek psikologis itu dikonsentrasikan untuk memperoleh daya gaib. Rizanur Gani menyebut nada atau sikap penyair ini dengan landasan tumpu (setting psikologis).

4.      Amanat (Pesan)
Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada puisi itu. Tujuan/amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkap­kan. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan.
Banyak penyair yang tidak menyadari apa amanat puisi yang ditulisnya. Mereka yang berada dalam situasi demikian biasanya merasa bahwa menulis puisi merupakan kebutuhan untuk berekspresi atau kebutuhan untuk ber­komunikasi atau kebutuhan untuk aktualisasi diri. Bagaimanapun juga, ka­rena penyair adalah manusia yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan manusia biasa dalam hal menghayati kehidupan ini, maka karyanya pasti mengandung amanat yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan.
Sesuai dengan tema yang dikemukakan, ada puisi dengan tema Ke­tuhanan, kemanusiaan, pendidikan, kebangsaan (patriotik), kedaulatan rak­yat dan keadilan social, maka dapat disebutkan secara garis besar bahwa ada puisi yang mengandung amanat yang sesuai dengan tema yang dikehendaki. Namun kemudian kita harus bertanya: dengan tema itu penyair mau apa? Bertujuan apa? Bermaksud bagaimana? Maka dalam merumuskan amanat itu, tema harus dilengkapi dengan perasaan dan nada yang dikemukakan pe­nyair. Jadi, tema ketuhanan yang sama mungkin mengandung amanat yang berbeda karena penyair mempunyai perasaan, nada dan suasana hati yang berbeda pula.
Tema berbeda dengan amanat. Tema berhubungan dengan arti karya sastra, sedangkan amanat berhubungan dengan makna karya sastra (mean­ing dan significance). Arti karya sastra bersifat lugas, obyektif, dan khusus, sedangkan makna karya sastra bersifat kias, subyektif dan umum. Makna berhubungan dengan orang perorangan, konsep seseorang, dan situasi di­mana penyair mengimajinasikan karyanya (hal ini erat dengan perasaan dan nada yang diungkapkan penyair). Rumusan tema harus obyektif dan sama untuk semua pembaca puisi, namun amanat sebuah puisi dapat bersifat in­terpretatif, artinya setiap orang mempunyai penafsiran makna yang berbeda dengan yang lain.
Walaupun tafsiran tentang amanat puisi dapat bermacam-maeam, na­mun dengan memahami dasar pandangan, filosofi, dan aliran yang dianut oleh pengarangnya, kita dapat memperkecil perbedaan itu. Inilah gunanya teori sastra yang menyangkut pribadi pengarang. Bahkan sejarah sastra, ang­katan atau jaman terciptanya karya sastra akan menolong kita mendekati amanat penyair secara lebih tepat. Tidak mungkin dapat dibenarkan jika puisi seorang penyair yang benar-benar religius ditafsirkan sebagai puisi ateis karena penafsirannya tidak memahami latar belakang keagamaan pe­nyair.








No comments:

Post a Comment