Wujud karya fiksi, dalam hal ini puisi adalah TOTALITAS atau SISTEM dari sebuah bangunan strata norma (norma-norma puisi). Wujud FORMAL bangunan strata itu tidak lain adalah BAHASA, karena sebelum bahasa itu dituturkan atau ditulis, jelas kita belum bisa menyatakan sebagai karya fiksi atau karya yang lainnya. Artinya, bahasa inilah yang menyebabkan sebuah karya (puisi) menjadi berwujud.
Dengan
demikian, sebagai sebuah totalitas atau sistem, bahasa mempunyai unsur-unsur
atau bagian-bagian atau strata, yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Menurut Roman Ingarden (Rene Wellek, 1968:151) strata norma puisi terdiri atas:
(1) strata bunyi (sound stratum).
Bila seseorang sedang membaca, bertutur,
berbicara (berpuisi), maka yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi enjambemen (jeda pendek, agak panjang,
dan panjang). Tetapi, bunyi atau suara itu bukan hanya suara tak berarti. Suara
sesuai dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti.
Dengan adanya satuan-satuan suara itu orang menangkap artinya. Maka, strata
bunyi itu menjadi dasar timbulnya strata kedua, yaitu strata arti atau makna.
(2) stara makna (units of meaning)
berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Semuanya itu
merupakan satuan satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi paragraf, bab, dan
keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak tersebut jelas memiliki makna,
yang memunculkan,
(3) strata objek yang diungkapkan penyairnya berupa latar, tokoh atau pelaku,
dan secara implisit mengungkapkan,
(4) strata ‘dunia’ penyair yang berupa visi atau sudut pandang dari
‘dunia’ si penyair, serta terimplisitkan sifat-sifat sublim, tragis, dramatis,
suci, atau yang bersifat,
(5) strata metafisis. Artinya, sesuatu yang menjadikan atau menyebabkan
pembaca/pendengar (puisi) berkontemplasi atau merenung/menghayati.
Untuk lebih
menjelaskan strata norma tersebut dianalisis sajak Chairil Anwar (1959:44) dan Darmanto
Jt (1980:40) sebagai berikut.
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si
pacar,
angin membantu, laut terang, tapi
terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang terang, di angin
mendayu,
di perasaan penghabisan segala
melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan rapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan
cintaku?!
Manisku jauh di pulau
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng
sendiri.
==00==
ISTERI
--isteri mesti digemateni
Ia sumber berkah dan
rejeki.
(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)
Isteri sangat penting untuk ngurus
kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
mengirim rantang ke sawah
dan ngeroki kita kalau kita masuk
angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita
Ia sisishan kita,
kalau kita
pergi kondangan
Ia tetimbangan kita,
kalau kita mau jual palawija
Ia teman belakang kita,
kalau
kita lapar dan mau makan
Ia sigaraning nyawa kita,
kalau
kita
Ia sakti kita!
Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama
penting dengan
kerbau, luku, sawah, dan pohon
kelapa.
Ia kita cangkul malam hari dan tak
pernah ngeluh walau cape
Ia selalu rapih menyimpan benih yang
kita tanamkan dengan rasa
Sukur: tahu terimakasih dan
meninggikan harkat kita sebagai
lelaki. Ia selalu memelihara
anak-anak kita dengan bersungguh-
sungguh seperti kita memelihara
ayam, itik, kambing atau
jagung.
Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi
kita justru ketika kita mulai
meluakannya:
Seperti lidah ia di mulut kita
tak terasa
Seperti jantung ia di dada kita
tak teraba
Ya. Ya. Isteri sangat penting bagi
kita justru ketika kita mulai
melupakannya.
Jadi waspadalah!
Tetap, madep, manteb
Gemati, nastiti, ngati-ati
Supaya kita mandiri—perkasa dan pinter ngatur hidup
Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel atau lurah
Seperti Subadra bagi Arjuna
makin jelita ia di antara maru-marunya:
Seperti Arimbi bagi Bima
jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka;
Seperti Sawitri bagi Setyawan
Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka.
Ah.Ah.Ah
Alangkah pentingnya isteri ketika
kita mulai melupakannya.
Hormatilah
isterimu
Seperti kau
menghormati Dewi Sri
Sumber hidupmu.
Makanlah
Karena memang
demikianlah suratannya!
--Towikromo.
Analisis Puisi Chairil Anwar melalui strata norma Roman Ingarden..
Strata Bunyi (sound stratum)
Sajak
tersebut berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai
merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Jadi,
strata bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi
bahasa tertentu, di sini bahasa Indonesia. Hanya saja, dalam puisi pembicaraan strata
bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat khusus,
yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni.
Misalnya dalam bait pertama baris pertama ada asonansi a dan u, di baris kedua
ada aliterasi s yang berturut-turut:
gadis manis, sekarang iseng sendiri. Begitu juga dalam bait
kedua ada asonansi a :
melancar-memancar-sipacar-terang-terasa padanya. Aliterasi l dan r : perahu melancar, bulan
memancar; laut terang, tapi terasa.
Pola
sajak akhir bait ke-2, 3, 4 : a a - b b yang saling dipertentangkan.
Memancar-sipacar dipertentangkan dengan terasa - padanya; kutempuh - merapuh
dipertentangkan dengan dulu - cintaku. Pada umumnya dalam sajak itu bunyi-bunyi
yang dominan adalah vokal bersuara berat a dan u, seperti kelihatan dalam bait
ke-3 dan ke-4, yang dipergunakan sebagai lambang rasa (klanksymboliek).
Strata Arti (units of meaning)
Satuan
terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung
menjadi kelompok kata, kalimat, paragraf, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu
semua merupakan satuan arti.
Dalam
bait pertama, 'cintaku jauh di pulau' berarti: kekasihku berada di pulau yang
jauh. 'Gadis manis, sekarang iseng sendiri': kekasih si aku masih gadis dan
manis. Karena si aku tidak ada, ia berbuat iseng menghabiskan waktu sendirian.
Dapat juga berarti bahwa si gadis dengan sangat menantikan si aku.
Dalam
bait kedua; untuk menuju kekasihnya itu si aku naik perahu deangan lancar pada
waktu terang bulan dan ia membawa buah tangan untuk pacarnya (oleh-oleh). Angin
pun membantu (angin buritan), laut terang: tidak berkabut. Meskipun demikian,
si aku merasa tidak akan sampai kepada pacarnya.
Bait
ketiga: Di air laut yang terang dan di angin yang bertiup kencang itu, menurut
perasaannya secara sepenuhnya (diperasaan penghbisan) semuanya serba cepat,
laju tanpa halangan (baris ke-1, 2), namun ajal (kematian) telah memberi
isyarat akan mengakhiri hidup si aku.
Bait
keempat menunjukkan bahwa si aku putus asa. Meskipun ia sudah bertahun-tahun
berlayar sehingga perahu yang dinaiki akan rapuh kena air garam (baris ke-1,
2), namun kematian telah menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia sempat
bertemu, bercintaan dengan kekasihnya.
Bait
kelima. Karena itu, kekasih si aku yang berada di pulau yang jauh itu akan
sia-sia menanti si aku dan mati menghabiskan waktu sendiri.
Sesungguhnya
sajak itu berupa kiasan. Pacar si aku, gadis manis itu, adalah kiasan cita-cita
si aku yang menarik, tetapi sukar dicapai, harus melalui laut yang melambangkan
perjuangan yang penuh rintangan, bahkan menentang maut. Karena itu, sebelum si
aku mencapai cita-citanya, ia telah meninggal.
Strata Ketiga
Strata
satuan arti menimbulkan strata yang ketiga, berupa objek-objek yang
dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang.
Objek-objek
yang dikemukakan: cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air
laut, dan ajal.
Pelaku
atau tokoh: si aku. Latar waktu: waktu malam terang bulan. Latar tempat: laut
yang terang (tidak berkabut), berangin yang kencang (angin buritan).
Dunia
pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si
pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang
dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut.
Gadis
manis, kekasih si aku berada sendirian di sebuah pulau yang jauh. Si aku ingin
menemuinya, ia naik perahu dengan laju pada waktu malam terang bulan. Laut tak
berkabut, angin buritan meniup dengan kencang. Akan tetapi, dalam keadaan serba
lancar itu, si aku merasa bahwa ia tidak akan sampai pada kekasihnya karena
maut yang lebih dahulu menghadang. Bahkan setelah bertahun-tahun berlayar
hingga perahu yang dinaiki pun akan rapuh (rusak) kena air laut bertahun-tahun.
Karena itu, kalau si aku tidak sampai ke tempat kekasihnya karena sudah
meninggal sebelum sampai, maka gadis kekasihnya akan mati sia-sia
menghabis-habiskan waktu sendirian.
Strata Keempat
Strata
"dunia" yang tak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit, tampak
sebagai berikut.
Dipandang
dari sudut pandang tertentu kekasih si aku itu menarik, kelihatan dari kata-kata:
gadis manis (bait pertama). Pada bait kedua, baris kesatu dan kedua menyatakan
suasana yang menyenangkan dan si aku penuh kegembiraan berlayar di laut yang
terang pada waktu terang bulan. Baris keempat menyatakan kegelisahan si aku
yang merasa bahwa usahanya sia-sia.
Bait
ketiga, baris ke-1, 2 menyatakan segalanya berjalan dengan baik, perahu
berlayar dengan laju. Baris ke-3, 4 menyatakan si aku telah dihadang
kematiannya.
Bait
keempat dan kelima menyatakan kegagalan si aku untuk mencapai gadisnya (cita-citanya)
meskipun segala daya upaya telah dilakukan (sudah bertahun-tahun ditempuh dan
perahu pun hampir hancur: kan merapuh). Sebelum mencapai cita-citanya
(gadisnya) si aku sudah mati.
Strata kelima
Strata
kelima adalah strata metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam
sajak ini strata itu berupa ketragisan hidup manusia; yaitu meskipun segala
usaha telah dilakukan, disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya telah
berjalan dengan lancar, tetapi (sering kali) manusia tak dapat mencapai apa
yang diidam-idamkannya (yang dicita-citakannya) karena maut telah lebih dahulu
menghadang. Dengan demikian, cita-cita yang hebat, menggairahkan, akan sia-sia
saja.
Analisis
strata norma Roman Ingarden itu dapat dikatakan hanya analisis puisi secara
formal saja, menganalisis fenomena-fenomena saja. Roman Ingarden tidak
mengemukakan nilai seni puisi yang dianalisis. Dengan hal yang demikian ini,
analisis Roman Ingarden ini dikritik Rene Wellek (1968:156) bahwa analisisnya
yang maju itu menjadi berkurang nilainya karena tidak dihubungkan dengan
penilaian. Hal ini disebabkan bahwa puisi itu merupakan karya imajinatif
bermedium bahasa yang unsur seni (estetik)-nya dominan (Wellek, 1968:25). Orang
tak dapat memahami dan menganalisis karya seni tanpa menunjukkan penilaian.
Analisis yang tanpa menghubungkan dengan penilaian ini merupakan kesalahan
analisis fenomenologis, begitu kata Wellek (1968:156).
Analisis
strata norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra
yang ada. Dengan demikian, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan
jelas. Namun, analisis yang hanya memecah-mecah demikian, dapat berakibat
mengosongkan makna karya sastra (T.S. Eliot via Sansom, 1960:155). Karena itu,
analisis strata norma harus ditingkatkan ke analisis semiotik, karya sastra
sebagai sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur) karya sastra itu
mempunyai makna (arti). Di samping itu, juga analisis ditingkatkan kepada
fungsi estetik setiap fenomena atau unsur-unsur karya sastra.
Dengan
analisis strata norma dan semiotik itu, maka karya sastra (puisi) akan dapat
didapatkan makna sepenuhnya dan dapat dipahami sebagai karya seni yang bernilai
puitis (estetis), yaitu dengan mengingat fungsi estetik setiap fenomena atau
unsur-unsur karya sastra (puisi).
Lebih
lanjut analisis strata norma yang dihubungkan dengan semiotik dan fungsi
estetik itu sebagai yang berikut.
Bunyi
Orkestrasi
bunyi: efoni dan kakofoni; kombinasi vokal dan
konsonan
tertentu: aliterasi dan asonansi.
Simbol
bunyi: onomatope, kiasan suara, lambang rasa.
Sajak:
awal, tengah, dalam, dan akhir.
Termasuk
pembicaraan bunyi juga adalah irama: metrum dan
ritme.
Kata
Pembicaraan
kata meliputi: kosa kata, unsur atau aspek ketatabahasaan; masalah denotatif
dan konotatif; pilihan kata (diksi); bahasa kiasan; citraan; sarana retorika;
dan gaya kalimat, serta gaya sajak.
Untuk Latihan,
analisislah puisi Darmanto Jt (1980:40) melalui strata norma Roman Ingarden sebagai
berikut.
ISTERI
--isteri mesti digemateni
Ia sumber berkah dan
rejeki.
(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)
Isteri sangat penting untuk ngurus
kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
mengirim rantang ke sawah
dan ngeroki kita kalau kita masuk
angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita
Ia sisishan kita,
kalau kita
pergi kondangan
Ia tetimbangan kita,
kalau
kita mau jual palawija
Ia teman belakang kita,
kalau
kita lapar dan mau makan
Ia sigaraning nyawa kita,
kalau kita
Ia sakti kita!
Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama penting
dengan
kerbau, luku, sawah, dan pohon
kelapa.
Ia kita cangkul malam hari dan tak
pernah ngeluh walau cape
Ia selalu rapih menyimpan benih yang
kita tanamkan dengan rasa
Sukur: tahu terimakasih dan
meninggikan harkat kita sebagai
lelaki. Ia selalu memelihara
anak-anak kita dengan bersungguh-
sungguh seperti kita memelihara
ayam, itik, kambing atau
jagung.
Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi
kita justru ketika kita mulai
meluakannya:
Seperti lidah ia di mulut kita
tak terasa
Seperti jantung ia di dada kita
tak teraba
Ya. Ya. Isteri sangat penting bagi
kita justru ketika kita mulai
melupakannya.
Jadi waspadalah!
Tetap, madep, manteb
Gemati, nastiti, ngati-ati
Supaya kita mandiri—perkasa dan pinter ngatur hidup
Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel atau lurah
Seperti Subadra bagi Arjuna
makin jelita ia di antara maru-marunya:
Seperti Arimbi bagi Bima
jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka;
Seperti Sawitri bagi Setyawan
Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka.
Ah.Ah.Ah
Alangkah pentingnya isteri ketika
kita mulai melupakannya.
Hormatilah
isterimu
Seperti kau
menghormati Dewi Sri
Sumber hidupmu.
Makanlah
Karena memang
demikianlah suratannya!
--Towikromo.
No comments:
Post a Comment